Minggu, 13 Desember 2015

Dasar Teknologi Pengolahan (drying, ekstrusi, frying, coating, and enrobing)



ACARA I.  DRYING
I. PENDAHULUAN

A.  Latar Belakang
Nanas termasuk komoditas buah yang mudah rusak, surut dan cepat busuk.  Oleh karena itu, setelah panen memerlukan penanganan pasca panen yang memadai.  Buah nanas selain dikonsumsi segar, juga dapat diolah lebih lanjut menjadi berbagai makanan dan minuman. 
Untuk memperpanjang masa simpan dan mengurangi aktivitas air dapat dilakukan dengan pengeringan, dalam hal ini dilakukan dengan pengeringan matahari (sun drying) dan alat pengering (artificial drying). Pada praktikum ini, praktikan mencoba untuk membandingkan perbedaan penggunaan kedua metode pengeringan itu.  
Pengeringan merupakan salah satu cara pengawetan pangan yang paling tua.  Cara ini merupakan suatu proses yang ditiru dari alam dan telah diperbaiki pelaksanaannya pada bagian-bagian tertentu.  Pengeringan merupakan suatu metode pengawetan pangan yang paling luas digunakan.
 Dengan pengeringan sebagian air dari suatu bahan dapat dikeluarkan atau dihilangkan dengan cara menguapkan air menggunakan energi panas, sehingga pertumbuhan mikrobia dan aktivitas enzim dapat dihambat karena kadar air dapat diturunkan sampai batas mikroba dan kegiatan enzimatis tidak dapat menyebabkan kerusakan yang berarti.
Pada pengeringan dengan udara, udara yang dipanaskan menyediakan panas untuk memenuhi kebutuhan panas sensibel dan panas laten pengupan air dari bahan.  Uap air kemudian ditransfer dari permukaan bahan pangan ke udara yang mengalir atau berdifusi dari jaringan bagian dalam ke permukaan, selanjutnya dibawa udara yang telah dipanaskan.  Oleh karena itu pengeringan udara merupakan proses pindah panas dan pindah massa secara bersamaan. Pengeringan dapat merubah kualitas dari bahan yang dikeringkan. Oleh karena itu pada saat praktikum perubahan itu diamati  seperti perubahan warna, tekstur, rasa, dan flavor.
Sebelum proses pengeringan terlebih dahulu dilakukan pretreatment yaitu blanching pada sebagian bahan yang akan dikeringkan. Sebagian bahan lagi langsung dilakukan pengeringan tanpa terlebih dahulu diblanching. Dengan langkah kerja seperti itu dapat diketahui bagaimanakah efek blanching terhadap kenampakan bahan dan proses pengeringan.

B. Tujuan

1.    Membandingkan pengeringan menggunakan alat pengering kabinet (cabinet drier) dengan pengeringan matahari (sun drying).
2.    Menghitung kadar air sampai dengan falling rate dan constant rate pada nanas yang dikeringkan dengan sun drying dan cabinet drier baik tanpa blanching maupun dengan blanching.
3.    Mengetahui perbandingan lama waktu pengeringan sampai dengan falling rate dan constant rate pada nanas yang dikeringkan dengan sun drying dan cabinet drier baik tanpa blanching maupun dengan blanching.
4.    Mengetahui perubahan-perubahan (warna, tekstur, rasa, dan flavor) yang terjadi pada nanas yang dikeringkan dengan sun drying dan cabinet drier baik tanpa blanching maupun dengan blanching.

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Nanas
Pada praktikum ini menggunakan sampel buah nenas. Nenas atau nanas atau “Pineapple” bukan tanaman asli Indonesia, tetapi berasal dari benua Amerika.  Nanas termasuk komoditas buah yang mudah rusak, susut dan cepat busuk.  Oleh karena itu, seusai panen memerlukan penanganan pasca panen yang memadai.
Tujuan pengolahan buah nanas secara umum diantaranya adalah :
1.      Menyelamatkan produksi yang melimpah saat panen raya (panen besar) dari risiko busuk dan harga rendah.
2.      Meningkatkan nilai bentuk, nilai tambah, dan nilai guna dari produk tersebut.
3.      Menunjang pengembangan agroindustri di perkotaan maupun pedesaan dalam rangka meningkatkan pendapatan masyarakat, menambah peluang usaha dan lapangan kerja, serta mendukung program penganekaragaman (diversifikasi) pangan bergizi bagi penduduk (Rukmana, Rahmat, 1996).
b. Blanching
Menurut Desrosier (1988) blanching merupakan perlakuan pendahuluan (pretreatment) antara  preparasi dengan raw material dengan kegiatan-kegiatan selanjutnya, yaitu pengolahannnya sendiri yang menyangkut sterilisasi, dehidrasi dan freezing. Blanching bertujuan menginaktivasi enzim dalam buah dan sayur sebelum pengolahan lebih lanjut. Blanching bisanya dikombinasikan dengan peeling atau clening makanan  dengan maksud menghemat biaya-biaya yang digunakan untuk knsumsi energi, ruang dan peralatan.
Blanching dibagi menjadi dua metode, yakni blanching menggunakan air panas (hot water blanch) atau menggunakan uap panas (steam blanch). Pada industri modern, blanching dilakukan hanya dengan menggunakan belt yang dilewatkan lewat spray steam. Dengan teknik ini maka proses blanching akan lebih merata (Earle, 1969).


c. Pengeringan
Taib (1987) menyatakan dehidrasi berarti mengendalikan kondisi iklim di dalam suatu ruangan atau lingkungan mikro.  Sedangkan untuik pengeringan matahari kondisinya diserahkan pada unsur-unsurnya.  Pengeringan pangan berarti pemindahan air dengan sengaja dari bahan pangan.  Pada kebanyakan peristiwa, pengeringan berlangsung dengan penguapan air yang terdapat dalam bahan pangan dan untuk ini panas laten harus diberikan.  Dua faktor proses pengeringan yang penting yang dimasukan ke dalam satuan operasi pengeringan yaitu :
a.       Pemindahan panas untuk memenuhi kebutuhan panas laten yang diberikan.
b.      Penggunaan air atau uap air melalui bahan pangan dan kemudian keluar bahan untuk mempengaruhi pemisahan dari bahan pangan (Earlie, R.L, 1969).
Suharto (1991) mengungkapkan dehidrasi merupakan suatu proses yang lebih mahal daripada pengeringan matahari, bahan pangan kering yang dihasilkan dari proses dehidrasi memiliki harga yang lebih tinggi, karena kualitasnya yang lebih baik.  Bahan pangan kering yang dihasilkan dari suatu alat pengering, kadar gulanya lebih tinggi, sebesar kadar gula yang hilang karena ada respirasi jaringan yang berlangsung terus selama pengeringan matahari dan juga karena adnya fermentasi.
Bila kedua-duanya dikerjakan dalam kondisi yang optimum, warna buah kering matahari lebih baik daripada buah kering buatan.  Selama pengeringan matahari secara pelan-pelan, perkembangan warna dari buah yang masih muda akan tetap berlangsung terus.  Hal ini tidak akan terjadi selama dehidrasi (Desrosier, 1988).
Didasarkan atas biaya, pengeringan mataharui lebih menguntungkan, tetapi didasarkan atas waktu pengeringan dan kualitas, dehidrasai lebih menguntungkan.  Selanjutnya pengeringan matahari tidak dapat dipraktekkan secara luas, karena beberapa daerah yang sesuai untuk pemukiman dan mengusahakan pertanian memiliki kondisi cuaca yang tidak baik (Desrosier, 1988).
Pada umumnya udara digunakan sebagai medium pengering, sebab jumlahnya cukup banyak, mudah digunakan dan pemanasan yang berlebihan dapat dikendalikan.  Udara digunakan untuk menghantarkan panas ke dalam pangan yang dikeringkan dan membentuk uap air yang dibebaskan dari bahan pangan.  Tidak ada suatu sistem pengambilan air yang diperlukan terhadap udara, seperti yang diperlukan dengan gas-gas lain.  Pengeringan dapat dilakukan dengan berangsur-angsur dan adanya kecenderungan menjadi gosong dan berubah warna selalu terkendali.  Menurut (Desrosier, 1988), buah-buahan lebih banyak yang diawetkan dengan pengeringan daripada dengan cara pengawetan pangan yang lain. 

III. METODE PRAKTIKUM
A. Alat dan Bahan
Alat :                                               Bahan :                             
1.         Pengering kabinet                   1.  Satu buah nanas
2.         Nampan                                   2.  Alumunium foil
3.         Cawan porselen                       3.  Tisu
4.         Oven                                       4.  Air
5.         Desikator
6.         Timbangan
7.         Pisau
8.         Panci/alat kukus
9.         Stopwatch
10.     Kompor gas    

B. Prosedur Kerja                         
Buah nanas dipotong tipis-tipis.
¯
Setengah bagian diblancing dengan metode steam blanching selama 2 menit dan setengahnya lagi tidak diblancing.
¯
Masing-masing dibagi 2 untuk cabinet drier dan sun drying.
¯
Bahan diletakkan dalam nampan dengan alas alumunium foil
¯
Nampan 1 dimasukkan ke cabinet drier sampai falling rate, dan diukur kadar airnya.  Nampan 2 dijemur sampai constant rate dan dijemur lagi selama 30 menit (falling rate)
¯
Bahan dimasukkan dalam cawan (4 cawan), 2 cawan untuk cabinet drier (blanching dan non blanching), dan 2 cawan lain untuk sun drying  (blanching dan non blanching).
¯
Bahan dalam cawan 1 dimasukkan ke oven selama 3 jam, desikator selama 30 menit, ditimbang , masukan ke oven lagi selama 30 menit begitu seterusnya sampai berat konstan.  Untuk nampan 2 (sun drying) perlakuannya sama seperti nampan 1 tetapi waktu di oven langsung  30 menit dan sampai berat konstan.
¯
Kadar air dihitung  baik yang falling rate maupun constan rate

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Hasil
Keterangan
Sun drying  no blanching
Cabinet drying no blanching
Sun drying with blanching
Cabinet drying with blanching
Lama waktu sampai falling rate
K.a.  s.d.
constant rate
K.a. s.d
falling rate
Warna

Tekstur

Rasa
Flavor
6 jam


db  = 40,41 %
wb = 28,64 %
db  = 99,01 %
wb = 49,51 %
Kuning kecoklatan
Lebih lunak

Manis ( ++ )
Enak (+)
1 jam 42 menit

db  = 30,07 %
wb = 23,12 %
db  = 26,71 %
wb = 21,08 %
Kuning muda

Lunak

Manis ( ++ )
Enak (++)
6 jam


db  = 74,36 %
wb = 42,65 %
db  = 69,75 %
wb = 41,09 %
Kuning

Kering, agak keras
Manis ( + )
Enak (++)
1 jam 30 menit.

db  = 22,78 %
wb = 18,65 %
db  = 24,41 %
wb = 19,62 %
Kuning kecoklatan
Agak keras

Manis ( + )
Enak (+)
 


A. Kabinet Drier
Berat sample (W1)
1. Sampai dengan Constant  rate.
Blanching      = 1,93 g
No blanching = 1,86 g
2. Sampai dengan akhir (falling rate).
Blanching      = 2,09 g
No blanching = 2,04 g
Berat sampel setelah dikeringkan konstan (W2)
1. Sampai dengan Constant  rate.
Blanching      = 1,58 g
No blanching = 1,43 g
2. Sampai dengan akhir (falling rate).
Blanching      = 1,68 g
No blanching = 1,61 g
Kehilangan berat (W3) = W1-W2
1. Sampai dengan Constant  rate.
 Blanching     = 0,36 g
No blanching = 0,43 g
2. Sampai dengan akhir (falling rate).
Blanching      = 0,41 g
No blanching = 0,43 g

B. Sun Drying
Berat sample (W1)
1. Sampai dengan Constant  rate.
Blanching      = 2,04 g
No blanching = 2,06 g
2. Sampai dengan akhir (falling rate).
Blanching      = 2,02 g
No blanching = 2,02 g
Berat sampel setelah dikeringkan konstan (W2)
1. Sampai dengan Constant  rate.
Blanching      = 1,17 g
No blanching = 1,46 g
2. Sampai dengan akhir (falling rate).
Blanching      = 1,19 g
No blanching = 1,01 g

Kehilangan berat (W3) = W1-W2
1. Sampai dengan Constant  rate.
Blanching      = 0,87 g
No blanching = 0,59 g
2. Sampai dengan akhir (falling rate).
Blanching      = 0,83 g
No blanching = 1,00 g



Perhitungan
A.    Kabinet Drier
% Kadar air (dry basis) =
1.   Sampai dengan Constant  rate.
Blanching          =
Non Blanching  =
2. Sampai dengan akhir (falling rate).
Blanching          =
Non Blanching  =

 % Kadar air (wet basis) =
1.   Sampai dengan  Constant  rate.
Blanching          =
Non Blanching  =
2. Sampai dengan akhir (falling rate).
Blanching          =
Non Blanching  =

B.     Sun Drying
% Kadar air (dry basis) =
1. Sampai dengan constant  rate.
Blanching           =
Non Blanching   =
2. Sampai dengan akhir (falling rate).
Blanching           =
Non Blanching   =

% Kadar air (wet basis) =
1. Sampai dengan constant  rate.
Blanching          =
Non Blanching   =
2. Sampai dengan akhir (falling rate).
Blanching          =
Non Blanching  =

B. Pembahasan


Pengeringan berlangsung dengan penguapan air yang terdapat dalam bahan pangan dan untuk ini panas laten harus diberikan. Pengeringan mempunyai beberapa keuntungan dan kerugian. (Taib, 1988)
v  Keuntungannya antara lain:
a)    Bahan  menjadi lebih awet.
b)   Berat bahan juga menjadi berkurang sehingga memudahkan pengangkutan, sehingga biaya lebih murah.
c)    Volume bahan menjadi lebih kecil sehingga mempermudah dan menghemat ruang pengangkutan dan pengepakan.
v  Kerugiannya antara lain:
a)    Perubahan kualitas kimia seperti penurunan kandungan vitamin C, terjadinya pencoklatan, dan organoleptisnya.
b)   Perubahan-perubahan sifat fisis seperti  pengerutan, warna, kekerasan.
            Pemilihan cara pengeringan dipengaruhi oleh jenis komoditi dan teknologi yang tersedia (Fellows, 1990). Pada praktikum kali ini, pengeringan dilakukan dengan dua cara yaitu pengeringan secara alami dengan menggunakan sinar matahari atau penjemuran dan pengeringan buatan dengan menggunakan alat pengering cabinet.           
Pengering Kabinet
Pengering kabinet terdiri dari ruangan dan rigen-rigen untuk produk yang dikeringkan dapat diletakkan didalamnya. Udara dihembukan dengan menggunakan kipas angin melalui suatu pemanas (biasanya koil uap bersirip) dan kemudian menembus rigen-rigen pengering yang berisi bahan yang akan dikeringkan (Taib, 1987).
Ø Kelebihan pengering kabinet antara lain:
1)   Murah pembuatannya.
2)   Mudah pemeliharaannya
3)   Aktifitas pengeringan diperlukan tanah yang lebih sedikit. Luas areal yang dibutuhkan dapat ditekan dengan memperbanyak rak-rak pengeringan secara vertical.
4)   Kualitas lebih terjamin daripada yang dikeringkan dengan penjemuran karena dilakukan pada ruang tertutup maka kebersihan, tingkat rehidrasi lebih baik dari pengeringan alami.
Dari hasil pengamatan kadar air hasil pengeringan dengan sun drying dengan blanching 69,75 %  relatif lebih tinggi daripada dengan kabinet dryer dengan blanching = 24,41 %.
5)   Lebih efisien karena memungkinkan pengeringan dilakukan di sembarang waktu tanpa terikat musim. Kecepatan, suhu, kelembaban, dan debit aliran udara kering dapat diatur sesuai dengan karakteristik bahan yang akan dikeringkan.
Hasil pengamatan diperoleh waktu pengeringan dengan cabinet drying non blanching selama 1 jam 42 menit sedangkan cabinet drying dengan blanching selama 1 jam 30 menit. Tetapi untuk pengeringan alami ( sun drying ), waktu yang diperoleh sama yaitu 6 jam. Hal ini membuktikan pengeringan dengan kabinet dryer lebih efisien waktunya dibandingkan sun drying.
Ø Kelemahan pengering kabinet antara lain:
1)   Pengontrolan terhadap kualitas kurang baik
2)   Produk-produk dengan kualitas yang lebih beragam.
3)   Pada umumnya pengering ini digunakan dalam skala kecil (1-20 ton per hari).
4)   Lebih mahal daripada pengeringan matahari, tetapi bahan pangan kering yang dihasilkan dari proses pengeringan dengan pengering kabinet memiliki harga yang lebih tinggi daripada pengeringan matahari.

Sun Drying
Sun drying merupakan pengeringan dengan sumber panasnya berupa cahaya matahari, kondisinya diserahkan pada unsur-unsurnya. Sedangkan pengeringan dengan tenaga matahari mempunyai keuntungan yaitu biaya dapat lebih rendah karena memanfaatkan energi yang sudah ada.
Bila dikerjakan dalam kondisi yang optimum, warna buah kering matahari lebih baik daripada buah kering buatan.  Selama pengeringan matahari secara pelan-pelan, perkembangan warna dari buah yang masih muda akan tetap berlangsung terus. Pengeringan bahan pangan dengan matahari dapat menghasikan bahan dengan kepekatan yang tinggi dan dengan kualiatas yang lebih tahan. Hal ini tidak akan terjadi selama pengeringan pada pengering kabinet (Desrosier, 1988).
Didasarkan atas biaya, pengeringan matahari lebih menguntungkan, tetapi didasarkan atas waktu pengeringan dan kualitas, dehidrasi lebih menguntungkan.  Selanjutnya pengeringan matahari tidak dapat dipraktekkan secara luas, karena beberapa daerah yang sesuai untuk pemukiman dan mengusahakan pertanian memiliki kondisi cuaca yang tidak baik (Desrosier, 1988).
            Bahan yang dikeringkan pada praktikum ini yaitu nenas yang telah di potong tipis.. Sebelum dilakukan pengeringan, sebagian nenas diblancing terlebih dahulu selama 2 menit dan sebagian lagi (yang non blanching) dikeringkan bersama-sama dengan yang sudah diblanching, sehingga pengamatan dilakukan terhadap buah nenas dengan empat perlakuan yang berbeda, yaitu sun drying non blancing, sun drying with blancing, cabinet dryer non blancing dan cabinet dryer with blancing..
Blancing ini tidak dimaksudkan untuk preservasi/pengawetan tetapi merupakan pra-treatment yang dilakukan antara preparasi raw material dan kegiatan-kegiatan selanjutnya, khususnya heat sterilization, dehydration dan freezing.Pretreatment blanching harus tepat, tidak boleh kurang (underblanching) maupun over blanching.
Blanching berlebih
Apabila blanching berlebihan akan menyebabkan makanan rusak dan perubahan seperti hancur, warna/pigmen berubah, komponen nutrisi hilang atau berkurang, dsb karena panas terlalu tinggi.
 Akan tetapi jika blanching kurang (underblanch) akan mengakibatkan perubahan tidak dikehendaki pada karakteristik sensori makanan seperti sifat-sifat nutrisional selama penyimpanan karena temperatur maksimal freezing dan dehidrasi tidak cukup untuk inaktivasi enzim. Underblanching juga menyebabkan kerusakan makanan lebih besar daripada tanpa blanching. Karena panas cukup merusak jaringan akan tetapi tidak menginaktivasi enzim yang menyebabkan bercampurnya enzim dengan substrat.
Pada praktikum ini menggunakan steam blanching. Steam blanch menghasilkan retensi nutrien lebih tinggi dengan cooling oleh cold air atau cold water spray. Akan tetapi memiliki kelemahan yaitu susut bobot lebh tinggi karena evaporasi. Cooling dengan air mengalir (fluming) dapat menaikkan looses blanching (komponen makanan yang soluble tercuci) tetapi secara keseluruhan produk mendapat tambahan berat dari air.
            Fungsi blancing di sini antara lain:
1)      Untuk inaktivasi enzim dalam buah sebelum prosesing lebih lanjut.
2)      Mengurangi jumlah mikrobia kontaminan pada makanan.
3)      Merusak jaringan turgiditas sel yang mengakibatkan jaringan lebih permeable dan proses pengeringan dapat lebih cepat.
     Blanching dalam percobaan ini memegang peranan penting dalam penampakan nanas, karena memberikan warna cerah.  Dari hasil pengamatan terlihat bahwa warna buah nanas yang sebelum dikeringkan diblanching terlebih dahulu berwarna kuning sedangkan yang tidak diblanching berwarna cokelat. Hal ini terbukti bahwa reaksi karamelisasi dan reaksi mailard dapat dicegah dengan perlakuan blancing.. Ini disebabkan karena blanching mampu mendestruksi enzim polifenol oksidase pada nanas sehingga warna nanas lebih cerah. Hilangnya butiran udara dan debu dari nanas selama blanching mengubah panjang gelombang pantulan cahaya, juga merupakan faktor penyebab cerahnya warna nanas (Rukmana, 1996).      
Selain itu pengaruh blanching pada tekstur nanas adalah menjadikannya lunak. Rasanya relatif menjadi kurang enak karena terjadi pengurangan kadar akibat bleaching saat penguapan air.           
Proses pengeringan ini sangat berpengaruh terhadap kadar air dalam suatu bahan. Kadar air bahan menunjukan banyaknya kandungan air persatuan bobot bahan. Terdapat dua metode untuk menentukan kadar air bahan yaitu berdasarkan bobot basah ( wet basis ) dan berdasarkan bobot kering ( dry basis ). Dry basis adalah perbandingan antara berat air dalam bahan pangan tersebut dengan berat bahan kering. Berat bahan kering adalah berat bahan basah setelah dikurangi dengan berat airnya, sedangkan wet basis adalah perbandingan antara air didalam bahan pangan dengan berat bahan basah (Taib, 1987).
            Pada pengeringan, suhu udara mempunyai pengaruh yang sangat besar daslam kecepatan perpindahan uap air, oleh karena suhu ini mengatur tekanan uap jenuh air dan juga suhu ini melengkapi gaya tarik suhu yangf memindahkan panas untuk menguapkan air. Peningkatan kecepatan dan suhu udara akan menyebabkan peningkatan peningkatan laju pengeringan seperti yang diperkirakan oleh persamaan standar. Lebih lanjut lagi, bertambah tinggi kecepatan udara akan menolong perpindahan uap air daerah bagian atas bahan padat yang dikeringkan. ( Earle, R.C.1969 ).
            Keseimbangan tekanan uap diatas suatu bahan pangan ditentukan tidak saja oleh suhu, akan tetapi juga oleh kandungan air bahan pangan tersebut. Cara air tersebut terikat oleh bahan pangan dan oleh adanya kandungan yang larut di dalam air. Di bawah pengaruh tekanan uap tertentu, bahan pangan mempunyai kandungan uap air dalam keadaan keseimbangan dengan keadaan sekelilingnya dan keseimbangan ini disebut keseimbangan kadar auai air bahan pangan tersebut. Laju pengeringan akan menurun apabila kandungan uap air akan menurun, dengan air yang tertinggal akan terikat bertambah kuat apabila jumlahnya berkurang (Earle, R L. 1969.)
Bila makanan ditempatkan pada drier, ada suatu periode pendek penurunan inisial jika permukaan pemanas sampai temperatur “wet bulb”. Pada saat makanan dipanaskan, udara panas ditiupkan ke makanan yang basah, panas ditransfer ke permukaan dan panas laten penguapan menyebabkan air menguap. Uap air mendifusi melalui boundary film udara dan dibawa oleh aliran udara dan penurunan tekanan uap air terjadi dari bagian interior makanan yang lembab ke udara kering, hal ini menyebabkan “ drying force” untuk menggerakkan air dari makanan dan permukaan tetap basah. ( Suharto,1991 ).
                          Periode ini dikenal sebagai “constant rate period” dan berlanjut sampai tercapai “critical moisture content”, pada periode ini air yang menguap merupakan air bebas dengan adanya tekanan. Panas yang diberikan hanya untuk panas laten (ubah air-uap) apabila proses menguap suhu boleh tinggi (± 180o C) namun apabila air bebas telah hilang maka panas yang maka panas yang digunakan tidak boleh terlalu tinggi (ka ± 15%).          
                          Bila kadar air makanan turun dibawah kadar air kritis, kecepatan drying turun dengan lambat sampai dengan nol equilibrium moisture content (yaitu makanan masuk ke dalam keseimbangan dengan drying air). Ini dikenal sebagai “falling rate period”. Falling rate merupakan periode terpanjang dari drying. Pada beberapa makanan falling rate satu-satunya kurva drying yang diamati.
                      Dalam prakteknya makanan mempunyai kurva drying yang berbeda karena penyusutan, perubahan temperatur dan RH udara. Selama periode konstant rate, jumlah air yang dievaporasi dari permukaan makanan turun pelan-pelan, tetapi jika jumlah panas yang disuplai udara sama maka temperatur permukaan naik sampai mencapai dry bulb udara pengering. (Taib, 1987)
V. PENUTUP
A. Simpulan
Setelah melakukan pembahasan, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut :
  1. Waktu yang digunakan untuk pengeringan dengan cabinet dryer lebih cepat daripada dengan sun drying.
  2. Pengeringan nanas dengan metode artificial (kabinet drier) memiliki keunggulan dibandingkan dengan non artificial (sun drying).
  3. Kadar air hasil pengeringan dengan sun drying relatif lebih tinggi daripada dengan kabinet dryer.
  4. Perlakuan metode pengeringan, blanching memberikan efek yang berbeda pada nanas.
B. Saran
1.      Dalam penggunaan metode pengeringan, perlu mengetahui efek dari metode tersebut terhadap bahan yang dikeringkan.
2.      Penggunaan panas saat pengeringan perlu diperhatikan, terutama pada saat kondisi  falling rate.
3.      Sebelum melakukan pengeringan untuk memperbaiki kenampakan produk, dapat dilakukan pretreatment yaitu blanching.













DAFTAR PUSTAKA


Desroiser, Norman. W. 1988. Teknologi Pengawetan Pangan. UI Press : Jakarta
Earle, R.L.1969. Satuan Operasi dalam Pengolahan Pangan. Sastra Hudaya : Bogor
Fellows.P.1990. Food Processing Technologi Principle And Practice. Ellis Horwood limited : England.
Potter, Norman N.1973. Food Science. The Avi Publishing Company. INC : Westport Connecticut.
Rukmana, Rahmat.  1996.  Nenas Budidaya dan Pascapanen.  Kanisius : Yogyakarta. 
Suharto.1991. Teknologi Pengawetan Pangan. Bineka Cipta : Jakarta
Taib, Gunarif. 1987. Operasi Pengeringan pada Pengolahan Hasil Pertanian.       PT Melton  Putra : Jakarta.
  


















ACARA II. EKSTRUSI

I.     PENDAHULUAN

A.  Latar belakang
Proses ekstrusi adalah suatu cara atau pengolahan pangan dimana bahan pangan yang akan diolah akan mengalami sekaligus :
1.    Mixing (pencampuran)
2.    Cooking (pemasakan)
3.    Kneading (peremasan)
4.    Shearing (pemotongan)
5.    Shaping dan forming (pembentukan)
Peran teknologi ekstrusi menjadi penting karena mempunyai beberapa keuntungan diantaranya :
1.    Hasil produk seragam
2.    Hemat biaya
3.    Kecepatan tinggi dan otomatis
4.    Limbah sedikit
5.    Pengoperasian mudah
Alat yang digunakan untuk melakukan proses ekstrusi disebut ekstruder. Pada intinya ekstruder terdiri atas sekrup pemompa dan sekrup pembawa. Ekstruder dapat digunakan untuk produk-produk yang berbentuk pasta seperti makaroni, vermicelli, dan spagheti.

B. Tujuan

Praktikum ini bertujuan :
1.    Untuk mengetahui pengaruh penambahan zat atau bahan tertentu seperti gula merah, mentega pada hasil ekstrusi.
2.    Untuk mengetahui proses kerja alat ekstrusi (ekstruder)


II.  TINJAUAN PUSTAKA


Material-material yang berukuran kecil dapat digabungkan untuk membentuk material yang lebih besar agar mencapai bentuk dan ukuran produk yang dikehendaki. Sebaliknya untuk bahan-bahan yang berukuran besar dapat dilakukan penekanan dan pemotongan sesuai dengan bentuk dan ukuran yang dikehendaki. Proses seperti ini menurut Suyitno (1989) biasanya dapat dilakukan dengan suatu alat yang disebut ekstruder , sedangkan prosesnya disebut ekstrusi.
Menurut Fellows (1990), dua faktor yang berpengaruh besar terhadap produk ekstrusi adalah kondisi operasi ekstruder dan sifat rheologik makanan. Parameter operasi yang penting adalah suhu, tekanan, diameter lobang, dan kecepatan potong. Sifat material makanan berpengaruh penting terhadap tekstur dan warna hasil ekstrusi. Faktor lain yang lebih penting adalah kandungan air, bentuk fisik material, dan komposisi kimianya, terutama jenis dan jumlah pati, protein, lemak dan gula.
Proses ekstrusi banyak digunakan dalam pembuatan produk-produk yang berbentuk pasta seperti makaroni, vermicelli, dan spagheti. Menurut Suyitno (1989) mekanisme ekstrusi dimulai dengan cara memasukan bahan makanan kedalam saluran pemasukan serta melalaui lobang umpan, masuk ke dalam saluran ulir. Ulir ini berputar didalam penutup (barrel) yang memiliki sisi yang keras. Sewaktu bahan-bahan dialirkan disepanjang saluran ulir maka terjadi proses pencampuran, pemanasan, dan pemotongan secara bersama-sama. Setelah mendekati bagian keluaran (di dekat pipa), bahan-bahan tersebut diubah bentuknya menjadi bahan yang termoplastik dan viskoelastis pada tekanan tinggi. Akhirnya bahan-bahan tersebut akan dikeluarkan melalui pipa atau saluran pengeluaran.
Menurut Suyitno ada lima tipe ekstruder yang biasa digunakan dalam industri makanan yaitu :
1.    Ekstruder untuk bahan berbentuk pasta (ekstruder pasta)
Ekstruder ini digunakan untuk membentuk makanan atau produk yanag sama yang berasal dari adonan.Tipe ini yang paling ideal karenan memiliki penutup yang berpermukaan halus dan tidak ada bagian yang mengalirkan bahan padat (dari adonan) serta memiliki bentuk geometris ulir konstan.
2.    Ekstruder bertekanan tinggi
Jenis ini digunakan untuk penekanan dan pembentukan adonan yang belum mengalami proses gelatinisasi dan diumpankan dalam produk-produk yang diminta sesuai dengan proses selanjutnya.
3.    Ekstruder tipe “Low-Shear Cooking”
Tipe ini digunakan sebagai alat pemasak kontinyu terutama untuk adonan atau masukan yang mempunyai kandungan air cukup tinggi. Dismping itu ekstruder ini dapat disebut sebagai tipe yang fleksibel dan banyak digunakan dalam berbagai keperluan. Hasil dari proses ekstrusi oleh tipe ini harus diproses lebih lanjut seperti proses pengeringan, pembekuan dan sebagainya.
4.    Ekstruder Collet
Keistimewaan ekstruder ini adalah memiliki daya potong tinggi dan waktu tinggal bahan dalam ekstruder yang singkat. Jenis ini biasa digunakan untuk membuat makanan kecil yang dikembangkan seperti “corn curts”. Keunggulan lainnya adalah membutuhkan sedikit panas baik sebelum atau sesudah proses ekstrusi.
5.    Ekstruder “High-Shear Cooking”
Cara kerjanya hampir sama dengan ekstruder collet kecuali waktu tinggal dalam ekstruder lebih lama dan panas dapat dihilangkan dengan pendinginan penutup. Alat ini fleksibel dibandingkan dengan ekstruder collet karena dapat menghasilkan produk seperti “puffed cereals”, snack, makanan ternak dengan kisaran luas baik makanan kering atau campuran.







III. METODE PRAKTIKUM


A. Alat dan Bahan

1.    Alat
-  Pisau
-  Ekstruder
-  Nampan
-  Baskom
-  Dandang dan kompor
2.    Bahan
-  Ketela pohon
-  Gula merah
-  Mentega
-  Tepung penyulut

B.  Prosedur Kerja

Umbi ketela pohon 5 kg dikupas dan dibersihkan dengan air.
¯
Ketela pohon yang telah bersih dikukus dalam dandang selama beberapa menit hingga menjadi agak lunak.
¯
Ketela pohon yang telah lunak didinginkan dan dihaluskan dengan ditambah bahan tertentu. Perlakuan I (ketela pohon + gula 40%), perlakuan II (ketela pohon + mentega 20%), perlakuan III (tanpa gula merah dan mentega).
¯
Masing-masing dimasukan dalam ekstruder hingga diperoleh hasil ekstrusi sesuai yang diinginkan.
¯
Hasil ekstrusi digoreng yang sebelumnya diolesi dengan tepung penyulut.
Amati rasa, warna, aroma, dan tekstur tiap perlakuan.

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN


A.  Hasil
Perlakuan I            : Ketela pohon + gula 40%
Perlakuan II          : Ketela pohon + mentega 20%
Perlakuan III         : Tanpa gula merah dan mentega

·          Setelah digoreng 1x penggilingan
PERLAKUAN
PENGAMATAN
WARNA
RASA
AROMA/BAU
TEKSTUR
Pertama
Kedua
Ketiga
Sangat coklat
putih
putih
Sangat manis
Gurih +
Tidak berasa
Gula merah lebih terasa
Mentega sedikit terasa
Bau ketela pohon dominan
Agak kasar
Lembut
Agak kasar

·          Setelah digoreng  2x penggilingan
PERLAKUAN
PENGAMATAN
WARNA
RASA
AROMA/BAU
TEKSTUR
Pertama
Kedua

Ketiga

Sangat coklat
Putih kecoklatan
Putih kecoklatan
Sangat manis
Gurih ++

Tidak berasa
Gula merah lebih terasa
Mentega sedikit terasa

Bau ketela pohon dominan
Lunak
Lembek

Agak keras


B.  Pembahasan
Getuk goreng merupakan produk olahan dengan bahan setengah jadinya berbentuk adonan (pasta). Menurut Fellows (1990) dan Suyitno (1989) untuk mengolah bahan bentuk adonan digunakan ekstruder pasta yang mekanisme kerjanya dilakukan ulir tunggal atau single screw extruder.
Dalam percobaan ini digunakan ketela pohon sebagai bahan dasar proses ekstrusi yang sebelumnya diberi perlakuan yang berbeda. Hasil ekstrusi selanjutnya dilakukan proses penggorengan untuk dibedakan warna, rasa, aroma, dan tekstur sebagai akibat perlakuan yang berbeda pada adonan hasil ekstrusi.
1.    Warna
Penggunaan warna pada proses ekstrusi makanan bertujuan untuk menambah daya tarik makanan. Pemberian warna biasanya dilakukan sebelum proses ekstrusi dilakukan. Pada perlakuan pertama warna yang timbul adalah sangat kecoklatan hal ini karena adanya penambahan gula merah. Sedangkan pemberian mentega memberikan warna putih pada perlakuan kedua. Sedangkan perlakuan ketiga, warna yang terbentuk adalah kecoklatan seperti warna ketela pohon.
2.    Rasa
Untuk mempertinggi cita rasa biasanya penambahan rasa dilakukan pada bahan sebagai bagian dari unsur makanan campuran pada ekstruder tetapi peningkatan rasa terjadi setelah produk ekstrusi terbentuk. Penambahan  gula merah pada perlakuan pertama menyebabkan hasil ekstrusi mempunyai rasa yang sangat manis. Rasa mentega yang asin akan terasa pada hasil ekstrusi pada perlakuan kedua. Pada perlakuan ketiga hasil ekstrusi tidak berasa, hanya rasa ketela pohon yang terasa.
3.    Aroma
Aroma merupakan salah satu faktor dalam menentukan mutu serta merupakan kriteria yang dipakai dalam menentukan diterima atau tidaknya suatu produk untuk dipasarkan. Aroma gula merah lebih terasa pada perlakuan pertama tidak demikian dengan perlakuan kedua penambahan mentega tidak begitu berpengaruh terhadap aroma hasil ekstrusi. Aroma ketela pohon lebih terasa pada perlakuan kedua seperti halnya pada perlakuan keempat.
4.    Tekstur
Tekstur, sifat lunak, garing, dan atau teguh merupakan sifat-sifat yang penting dalam mutu pangan. Tiap pangan memiliki perbedaan yang sangat luas dalam hal sifat fisik dan strukturnya. Pada perlakuan pertama tekstur hasil ekstrusi adalah lunak hal ini dikarenakan adanya penambahan gula merah. Semakin tinggi jumlah gula merah yang ditambahkan akan menyebabkan hasil ekstrusi semakin lunak. Sifat mentega yang plastis mengakibatkan hasil ekstrusi pada perlakuan kedua menjadi lembek. Pada perlakuan ketiga, campuran mentega dan gula merah menyebabkan hasil ekstrusi tidak begitu lunak maupun keras. Pada perlakuan ketiga ini merupakan hasil ekstrusi yang paling baik. Sedangkan pada perlakuan keempat hasil ekstrusi agak keras seperti sifat asli dari ketela pohon.



























V. PENUTUP


A.  Simpulan
Dari hasil praktikum, dapat diperoleh kesimpulan :
1.    Penambahan zat atau bahan tertentu seperti gula merah, mentega berpengaruh terhadap rasa, warna, aroma, dan tekstur hasil ekstrusi.
2.    warna gelap atau coklat dihasilkan karena adanya reaksi antara gula-gula pereduksi dengan protein.

B.  Saran
            Proses ekstrusi sebaiknya dilakukan dalam rangka meningkatkan berbagai jenis makanan sehingga nilai ekonominya menjadi lebih tinggi.



















DAFTAR PUSTAKA

.
Fellows,P.1990. Food Processing Technology Principles and Practice. Ellis Horwood : England.

Harper,J M.1989. Extrution Of Food. CRC Press Inc.Boca Rotan : Florida.
Kartika, Bambang.Dkk.1992. Petunjuk Evaluasi Produk Industri Hasil Pertanian, Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi : Yogyakarta.

Suyitno.1989. Rekayasa Pangan. Universitas Gajah Mada : Yogyakarta.



ACARA III. FRYING, COATING, DAN ENROBING

I. PENDAHULUAN

A.               Latar Belakang
            Jenis makanan sangat bervariasi, baik dari segi bahan baku, proses pengolahan, penampilan bahkan rasanya. Makanan tersebut memang sengaja dibuat dan didesain sedemikian rupa untuk menarik perhatian. Namun terkadang kita tidak tertarik pada suatu makanan walaupun sebenarnya rasanya enak. Sebaliknya kita tertarik kepada makanan tertentu dan ingin mengkonsumsinya padahal rasanya belum tentu enak. Kejadian seperti ini kerap kita temui dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini antara lain dipengaruhi oleh penampilan atau bentuk dan warna makanan tersebut. Oleh karena itu perlu adanya suatu cara untuk mengatasi masalah diatas, misalnya melalui metode coating dan enrobing.
            Pada prinsipnya coating dan enrobing adalah cara pelapisan makanan, hanya saja terdapat sedikit perbedaan yaitu pada enrobing, pelapisan makanan dilakukan dengan penyemprotan. Sebelum masuk ke proses coating atau enrobing ada beberapa proses yang dilewati, misalnya penggorengan (frying). Bahan pangan yang digoreng merupakan sebagian besar dari menu manusia, oleh karena itu jumlah bahan pangan digoreng sangat besar. Proses penggorengan memegang peranan yang penting sebelum akhirnya dilakukan pelapisan. Selain dapat memperbaiki penampilan,coating dan enrobing juga mempunyai fungsi lain. Misalnya dapat menaikkan shelf life (penyimpanan pada suhu ruang) karena coating bertindak sebagai barier terhadap O2, CO2, aroma-aroma volatile dan senyawa-senyawa lain. Selain itu juga sebagai pembawa ingredient yang ditambahkan seperti flavoran, antioksidan, antimicrobial, dll. Oleh karena fungsinya itu, coating dan enrobing banyak diterapkan dalam pembuatan makanan.



B.  Tujuan
a.      Mengetahui prinsip kerja frying, coating, dan enrobing
b.      Membandingkan hasil akhir  tekstur, warna, rasa, dan flavor dari metode enrobing dan coating
c.      Mengetahui pengaruh perendaman singkong dalam larutan kapur pada tekstur, warna, rasa, dan flavor singkong


II. TINJAUAN PUSTAKA


Fellows (1990) menyatakan frying adalah proses  pemanasan  dengan menggunakan media minyak panas. Sebenarnya tujuan dari frying adalah memperbaiki eating quality makanan, namun frying juga memberikan efek  preservatif dari destruksi thermal oleh mikrooganisme dan enzim dan mengurangi air bebas pada makanan.
Frying dapat menggunakan wajan cekung, shallow pan, dan alat penggoreng vakum.  Dengan menggunakan suhu tinggi, dapat mereduksi waktu processing dan meningkatkan produksi. Tetapi suhu tinggi dapat menyebabkan  deterioration atau kemunduran pada minyak menjadi asam lemak bebas, ataupun perubahan pada  flavor, viscositas,  maupun warna minyak (Ratnawulan, 1996).
Ketaren (1996) menyatakan saat makanan diletakkan pada minyak panas, suhu pada permukaan meningkat dengan cepat sehingga air menguap. Suhu pada permukaan meningkat sekitar 100 oC. Saat proses frying, air yang menguap dari dalam makanan itu digantikan  minyak panas.
Waktu frying makanan dtentukan oleh tipe makanan, perubahan yang diinginkan, temperatur minyak, metode frying, dan thickness pada makanan (Fellows, 1990).
Fellows (1990) menyatakan coating dan enrobing adalah kegiatan setelah  proses yang dilakukan dengan menyalut makanan  dengan edible coating. Tujuan utama coating dan enrobing adalah memperbaiki eating quality dan menambah variasi jumlah makanan. Selain itu, dapat memperbaiki karakteristik perlakuan , penampilan, dan sebagai pembawa ingredient yang ditambahkan. Selain itu dapat menaikkan umur simpan makanan atau mencegah makanan menuju kemunduran atau deterioration karena bertindak sebagai barrier pergerakan uap air, gas O2 , gas CO2 , aroma volatile dan senyawa-senyawa lain.
Asideu (1989) mengungkapkan produk coating dan enrobing dapat diubah sesuai yang dikehendaki karena dapat melindungi dari kerusakan mekanis. Kenekaragaman penyalut yang digunakan untuk memberikan suatu bahan appearance yang berbeda dari penampilan sebelumnya, yaitu berupa gloss dan color dapat menjadi keunggulan dari produk itu sendiri. Setelah mengalami coating dan enrobing, bahan makanan biasanya akan mengikuti ingredient yang dibawa oleh penyalutnya.
Ketebalan dari coating dan enrobing ditentukan oleh viscositas bahan. Semakin tinggi viscositas bahan akan semakin tebal bumbu yang menyelimuti bahan makanan (Warsito, 2003).
Proses coating dan enrobing menghasilkan perubahan pada warna, rasa, tekstur, dan juga flavor. Menurut Deman (1989) warna penting bagi banyak makanan. Warna memberikan petunjuk mengenai perubahan kimia pada makanan, seperti reaksi browning. Tekstur merupakan faktor penentu mutu makanan daripada warna dan rasa. Ciri dari tekstur adalah renyah, berminyak, rapuh, empuk, bersari, menepung, dan  mengeripik. Flavor merupakan kombinasi bau, rasa, dan mouthfeel.  
      Bahan yang digunakan pada praktikum kali ini adalah umbi singkong. Menurut Grace (1977) umbi singkong memiliki sifat yang mudah busuk sehingga memerlukan adanya penanganan tertentu. Pada singkong terdapat senyawa HCN yang beracun sehingga memerlukan perendaman kapur. Selain itu, proses perendaman juga akan memperbaiki kenampakan dan warna pada produk makanan. Saat pemotongan tidak boleh terlalu tebal, untuk menghindari case hardening (bagian permukaan produk sudah kering tetapi bagian dalamnya belum matang atau masih basah).

III. METODE PRAKTIKUM
A. Alat dan Bahan
  1. Alat
1.        Pisau
2.        Talenan
3.        Wajan
4.        Sprayer / penyemprot
5.        Panci
6.        Blender
7.        Baskom
8.        Saringan
  1. Bahan
1.        Singkong
2.        Cabe Merah
3.        Gula
4.        Garam
5.        Minyak
6.        Air
7.        larutan kapur 1% dan 2%

B. Prosedur Kerja    
Singkong dikupas hingga bersih lalu diiris tipis-tipis
¯
Diberi perlakuan perendaman pada larutan kapur 1%, 2%,
dan tanpa perendaman pada larutan kapur
¯
Irisan singkong yang direndam pada larutan kapur ditiriskan
lalu dicuci bersih
¯
singkong digoreng ½ matang, ditiriskan, kemudian digoreng kembali
¯
sementara singkong digoreng, buat bumbu untuk coating dan enrobing
¯
cabe merah di steam blanching selama 5 menit
¯
Cabe diblender dengan penambahan air 300 ml
¯
Disaring kemudian dimasak dengan penambahan gula dan garam secukupnya
Perbandingan cabe dengan gula adalah 1 :2


½ bumbu dipisahkan untuk enrobing                          ½ bumbu lainnya dimasak hingga
saat campuran belum terlalu kental                             kental untuk coating

didinginkan                                                                 didinginkan

bumbu dimasukkan pada sprayer                                       dituang pada wadah

Disemprotkan pada sebagian singkong                       sebagian singkong yang telah
yang telah digoreng                                                    digoreng dicelupkan pada bumbu


                        Diamati kerataan bumbu, tekstur, warna, rasa, dan flavor
 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
A.  Hasil
Tanpa perendaman dalam larutan kapur


Frying
Coating
Kerataan Bumbu
-
Rata
Tekstur
Renyah
Renyah, agak keras
Warna
Kuning kecoklatan
Merah jingga ++
Flavor
Enak
Enak
Rasa
Gurih / tawar
Manis pedas +++

Enrobing


Kerataan
Bumbu
Tekstur
Warna
Flavor
Rasa
Sebelum Pengovenan
Rata
Renyah +
Merah
Kecoklatan
Enak +
Manis
pedas ++
Setelah
Pengovenan
Rata
Renyah ++
Merah
Jingga +
Enak ++
Manis pedas +
DATA PEMBANDING
Perendaman dalam larutan kapur 1%

Frying
Coating
Kerataan Bumbu
-
Rata
Tekstur
Renyah
Renyah, lengket
Warna
Kuning kecoklatan
Merah kecoklatan
Flavor
Enak
Enak ++
Rasa
Gurih / tawar
Manis pedas +

Enrobing


Kerataan
Bumbu
Tekstur
Warna
Flavor
Rasa
Sebelum Pengovenan
Rata
Renyah
Coklat
Muda
Enak
Bumbu kurang meresap
Setelah
Pengovenan
Rata
Renyah
Orange
Enak
Bumbu meresap
Perendaman dalam larutan kapur 2%

Frying
Coating
Kerataan Bumbu
-
Rata ++
Tekstur
Renyah
Agak keras
Warna
Kuning kecoklatan
Merah
Flavor
Enak
Enak
Rasa
Gurih / tawar
Manis pedas

Enrobing

Kerataan
Bumbu
Tekstur
Warna
Flavor
Rasa
Sebelum Pengovenan
Rata
Renyah
Coklat
Muda
Enak
Manis pedas ++
Setelah
Pengovenan
Rata
Renyah
Orange
Enak
Manis pedas +

B.  Pembahasan

a. Frying
            Proses penggorengan sangat penting dalam proses pengolahan makanan. Media yang digunakan dalam proses penggorengan adalah minyak. Dalam penggorengan, minyak goring berfungsi sebagai medium penghantar panas, menambah rasa gurih. Menambah nilai gizi dan kalori dalam bahan pangan. Namun tidak semua jenis minyak dapat digunakan sebagai minyak goring, missal minyak biji kapas, minyak kedelai, minyak jagung atau minyak biji bunga matahari. Hal ini disebabkan karena minyak tersebut jika kontak dengan udara pada suhu tinggi, akan cepat teroksidasi sehingga berbau tengik. Pemanasan minyak secara berulang-ulang pada suhu tinggi dan waktu yang cukup lama, akan menghasilkan senyawa polimer yang berbentuk padat dalam minyak.
Terdapat beberapa metode penggorengan antara lain metode tradisional yaitu dengan menggunakan wajan, suhu yang digunakan sekitar 120-200oC. Metode yang lain adalah penggorengan vakum dengan suhu ± 90oC. Proses penggorengan dengan menggunakan penggorengan vakum memerlukan waktu yang lebih lama bila dibandingkan dengan metode tradisional. Pada metode ini tekanan dalam alat dibuat vakum dan dengan suhu yang rendah maka reaksi-reaksi yang terjadi juga terbatas, misalnya reaksi karamelisasi yang terjadi pada suhu diatas 120oC. Produk yang dihasilkan pun lebih baik, namun biaya yang dibutuhkan juga besar.
            Pada praktikum pembuatan keripik singkong ini, metode yang digunakan adalah metode tradisional yaitu menggunakan wajan. Jenis wajan yang digunakan sangat berpengaruh terhadap jenis produk yang akan digoreng. Jenis wajan yang ceper biasanya untuk produk-produk seperti sosis, burger, telur goring, martabak, dan lain-lain.  Jumlah minyak yang digunakan biasanya sedikit, dalam hal ini bahan kontak langsung dengan wajan maka transfer panas yang terjadi adalah secara konduksi.  Produk atau hasil yang didapat tidak rata, baik tekstur, warna, maupun rasanya. Untuk wajan yang cekung menggunakan minyak dalam jumlah yang banyak, biasanya dikenal dengan istilah deep frying. Karena bentuk wajan yang cekung serta minyak yang digunakan banyak, maka produk akan tercelup semua ke dalam minyak sehingga hasil yang di dapat akan rata baik tekstur, warna, dan rasa. Jenis wajan yang cekung biasanya digunakan untuk menggoreng produk-produk seperti ayam, udang, krupuk, bergedel, dll. Pada pembuatan sriping singkong ini jenis wajan yang digunakan adalah wajan yang cekung yaitu dengan system deep frying.
            Lemak yang dapat digunakan dalam proses penggorengan secara deep frying adalah lemak nabati yang mengalami proses dehidrogenasi (kecuali minyak olive), minyak babi (lard) bermutu tinggi dan beberapa jenis “senyawaan shortening” yang tidak mengandung emulsifier. Secara komersil bahan pangan yang digoreng (fried food) biasanya digoreng dengan menggunakan system deep frying.
            Ciri dari produk goreng adalah permukannya kering dan menyerap minyak goreng. Bahan makanan menjadi kering karena ada proses dehidrasi sebagai akibat pindah panas dari minyak goreng ke bahan dan punya cita rasa khas karena ada pindah massa ke minyak ke dalam produk goreng. Permukaan lapisan luar akan berwarna cokelat keemasan akibat penggorengan. Timbulnya warna pada permukaan bahan disebabkan oleh reaksi browning atau reaksi maillard. Tingkat intensitas warna ini tergantung dari lama dan suhu menggoreng juga komposisi kimia pada permukaan luar dari bahan pangan. Produk goreng umumnya mengandung proporsi resapan minyak goreng yang tinggi sebagai akibat kontak bahan pangan dengan minyak goreng selama kegiatan penggorengan.
Penggorengan dengan system deep frying pada suhu 163-178oC baik digunakan untuk menggoreng kacang, dan suhu kurang lebih 198oC baik digunakan untuk menggoreng dough nut. Karena keripik singkong merupakan bahan pangan yang dibungkus dan tidak segera dikonsumsi, maka dibutuhkan lemak yang bersifat stabil terhadap panas, misalnya minyak kelapa dan minyak nabati dehidrogenasi.
            Sebelum bahan digoreng, dilakukan preparasi terlebih dahulu. Singkong dikupas dan dipotong tipis-tipis (slicing). Tebal tipisnya irisan harus diperhitungkan. Jika irisan terlalu tebal maka akan terjadi case hardening, yaitu bagian luar telah matang namun bagian dalamnya  masih mentah. Hal ini bisa diatasi dengan pemotongan bahan yang tipis sehingga pematangan merata pada saat digoreng. Kemudian singkong diberi tiga perlakuan yaitu direndam larutan kapur 1%, larutan kapur 2%dan tanpa rendaman larutan kapur. Perendaman dalam larutan kapur dilakukan selama 15 menit. Selanjutnya singkong dicuci untuk menghilangkan Ca dan pati yang menempel agar tidak terjadi gelatinisasi sewaktu digoreng. Setelah ditirisakn baru kemudian digoreng. Dalam memasukkan potongan singkong hendaknya satu demi satu. Hal ini untuk menghindari menumpuknya potongan singkong tersebut. Proses penggorengan dilakukan dalam dua tahap. Pertama digoreng setengah matang dulu, kemudian digoreng lagi sampai matang.
            Lemak yang secara berulang-ulang digunakan sebagai medium menggoreng cenderung membentuk busa. Beberapa proses penggorengan keripik singkong yang dilakukan ternyata ada yang membentuk busa. Hal ini mungkin disebabkan karena pada permukaan lemak terdapat larutan atau disperse koloid yang berasal dari bahan yang digoreng (Ketaren, 1986). Lemak yang mengandung sejumlah besar asam lemak berantai pendek,lebih mudah membentuk busa dan tidak baik digunakan untuk menggoreng bahan pangan yang berkadar air tinggi.
            Proses penggorengan irisan singkong mengakibatkan sebagian besar air pada bahan menguap, sehingga kadar air keripik menjadi sekitar 6%. Dalam kondisi kadar air sangat rendah, keripik dapat disimpan lama pada suhu ruang. Namun, karena kadar lemaknya tinggi (sekitar 24%) akibat penyerapan minyak selama penggorengan, keripik mudah tengik, khususnya bila tidak diimbangi sistem pengemasan dan penyimpanan yang baik.
            Dalam proses menggoreng, udara merupakan factor utama penyebab kerusakan minyak goreng. Namun dalam proses penggorengan, kontak antara udara dengan minyak sulit untuk dihindarkan. Pada waktu proses pemanasan minyak dan penggorengan, aerasi terutama terjadi pada permukaan minyak dalam wajan, namun akhirnya udara akan masuk ke dalam lemak akibat peristiwa pergerakan, sirkulasi atau pengadukan lemak. 
            Setelah bahan matang diangkat lalu ditirisakn. Setelah itu dilakukan pengamatan terhadap tekstur dan warnanya. Hasil yang didapat sebagai berikut:
  • Singkong tanpa rendaman larutan kapur: warnanya kekuningan, tekstur tidak begitu renyah bila dibandingkan dengan yang direndam larutan kapur.
  • Singkong yang direndam larutan kapur 1%: warna kuning kecoklatan, teksturnya renyah.
  • Singkong yang direndam larutan kapur 2%: warna kecoklatan, tekstur lebih renyah bila dibandingkan dengan yang direndam larutan kapur 1%.
Dari hasil pengamatan diketahui bahwa singkong yang sebelum digoreng terlebih dahulu direndam larutan kapur, ternyata memberikan tekstur yang lebih renyah bila dibandingkan dengan singkong yang tidak direndam larutan kapur. Selain membuat tekstur menjadi lebih renyah, air kapur juga dapat menjaga bentuk bahan agar tidak rusak ketika digoreng.

b. Coating
Pada proses Coating, zat-zat pelapis dibubuhi pada bahan (keripik) langsung di wajan sehingga perataan bumbu tebal tipisnya kurang baik dan sangat bergantung baik tidaknya pengadukan. Dan biasanya kerataan bumbu coating kurang baik dibandingkan enrobing, karena pada enrobing kita bisa mengatur dengan cara melihatnya nya langsung bumbu sudah cukup apa belum. Dari segi tekstur keripik singkong yang dicoating kurang renyah karena bumbunya yang terlalu tebal dan terjadinya lagi pemanasan pada saat pencampuran bumbu.
Tekstur keripik tergantung dari konsentrasi CaO, Semakin banyak maka tekstur semakain renyah. Warna disebabkan oleh Penggorengan. Bahan selama digoreng akan mengalami reaksi Mailard. Kerataan bumbu pada coating tidak rata tetapi menjadi rata dikarenakan adanya pemanasan pada saat dibumbuinya.

c. Enrobing
Enrobing merupakan pemberian lapisan-lapisan flavor pada makanan. Prosesnya hampir sama dengan coating namun pada enrobing pemberian bumbu dilakukan dengan cara menyemprotkannya dengan menggunakan spray. Pada dasarnya coating dan enrobing adalah kegiatan yang dilakukan setelah bahan diproses terlebih dahulu atau disebut  post processing operation. Enrobing bertujuan untuk memperbaiki eating quality dan menambah variasi produk pangan. Disamping itu efek dari enrobing sendiri adalah akan meningkatkan shelf life pada (suhu ruang) karena bertindak sebagai barrier terhadap air, O2, CO2, aroma-aroma volatile dan senyawa-senyawa lain yang kehilangannya menuju deterioration (kemunduran), memperbaiki karakteristik perlakuan, misal lebih mudah dibengkokan tanpa patah, memperbaiki appearance melalui glose dan color, sebagai pembawa ingredien yang ditambahkan sebagai flavoran, antioksidan, antimikrobia, untuk mencegah stickness (lengket satu sama lain) misalnya pada raisin dan dates, serta menjadi barrier terhadap air dan bakteri misalnya pada kulit telur dan processed meat (sosis), poultry dan fish. 
            Pada praktikum ini digunakan bahan ceriping singkong dengan pemberian flavor pedas. Ceriping singkong adalah makanan ringan yang renyah, gurih, pedas, dan lezat. Ceriping merupakan makanan ringan yang umumnya dibuat dari bahan yang mengandung kadar pati cukup tinggi dan mengalami proses pengeringan (dengan cara penggorengan) untuk menghilangkan sebagian air yang dikandungnya (Grace,1977).
            Setelah bahan digoreng, kemudian disemprot dengan flavor yaitu cabe merah yang telah diambil sarinya. Sebelum cabe diblender, cabe terlebih dahulu di steam blanching yang bertujuan untuk inaktivasi enzim dan melunakkan (soften) jaringan pada cabe yang akan digunakan sehingga mudah hancur pada saat diblender. Kemudian cabe dan air sebanyak 300 ml diblender sampai halus. Setelah itu larutan cabe disaring. Hasil saringan tersebut dimasak dengan penambahan gula dan garam secukupnya. Perbandingan cabe dengan gula pasir adalah 1:2. Pemasakan dilakukan sampai konsentrasi larutan tinggi namun tidak terlalu kental agar memudahkan penyemprotan dengan sprayer. Setelah bumbu agak dingin baru dilakukan penyemprotan pada singkong yang telah digoreng. Bumbu jangan sampai terlalu dingin agar mudah menempel pada permukaan singkong. Penyemprotan dilakukan sampai rata. Kemudian dilakukan pengovenan selama 3 jam untuk mengurangi kadar air bumbu pada singkong dan bumbu lebih pekat dan meresap serta tidak lengket.
Setelah dilakukan pengovenan, didapatkan tekstur yang renyah, bumbu tersebar rata diseluruh permukaan singkong, flavor yang enak, dan rasa manis pedas.
            Karakteristik sensori meliputi tekstur, rasa, aroma,warna, dan bentuk. Bagi konsumen, atribut yang paling penting dari suatu makanan adalah karakteristik sensorinya. Oleh karena itu, tujuan dari pengolahan makanan adalah untuk menemukan kemajuan dalam teknologi prosesing yang mempertahankan / menambah kualitas sensori yang diinginkan dan mengurangi kerusakan pada makanan akibat prosesing. Enrobing sendiri juga merupakan proses pengolahan yang ditujukan untuk meningkatkan kualitas sensori (Fellows, 1990).
  • Kerataan Bumbu
Metode enrobing lebih memungkinkan untuk tersebarnya bumbu dengan rata ke seluruh permukaan karena menggunakan spray. Dengan sprayer bumbu tersebar merata dan tidak berlebihan serta dapat menjangkau seluruh permukaan. Efisiensi bumbu juga tinggi dibandingkan dengan hasil coating. Konsentrasi larutan bumbu harus tinggi namun tidak kental karena jika terlalu kental maka sprayer akan mampat. Sementara pada coating karena singkong harus dicelupkan pada larutan bumbu, maka akan membutuhkan larutan bumbu yang lebih banyak. Karena harus dipekatkan terlebih dahulu sehingga larutan bumbu akan lebih kental dan sedikit. Namun, ketidakrataan bumbu pada praktikum ini kemungkinan disebabkan oleh perbandingan bumbu dengan singkong yang tidak seimbang. Karena pada proses pemasakan bumbu harus dibagi dua untuk coating dan enrobing.
Kelemahan enrobing sendiri dibandingkan dengan coating adalah lapisan bumbu yang terlalu tipis sedangkan coating tebal sehingga akan berdampak pada rasa.
  • Tekstur
Secara umum dipengaruhi oleh kandungan air / kelembaban, tipe dan jumlah karbohidrat, protein, dan lemak. Perubahan dipengaruhi oleh berkurangnya kandungan air atau lemak, pembentukan dan pemecahan emulsi, hidrolisis karbohidrat dan koagulasi dan hidrolisis protein (Fellows, 1990).
Tekstur ceriping singkong setelah pengovenan lebih renyah dibandingkan dengan sebelum pengovenan. Hal ini disebabkan oleh kadar air pada singkong sudah jauh berkurang karena telah melewati proses pemanasan 2 kali yaitu penggorengan dan pengovenan. Kadar air pada produk enrobing lebih tinggi dibandingkan coating oleh karena itu memerlukan proses pengeringan kembali. Tekstur yang diperoleh pada ceriping singkong kali ini banyak dipengaruhi oleh proses penggorengan. Proses penggorengan singkong dilakukan dengan metode deep fat frying atau menggunakan minyak yang banyak sampai bahan tercelup semua. Singkong digoreng dua kali dengan tujuan mencegah case hardening karena irisan singkong yang tidak seragam. Ceriping yang terlalu tebal akan mudah mengalami case hardening pada saat penggorengan yaitu pada bagian luar telah kering tetapi bagian dalamnya masih mentah. Dengan dua kali penggorengan maka akan menurunkan kadar air sampai cukup rendah sehingga produk dapat disimpan lebih lama dan mengurangi penyerapan minyak pada tahap penggorengan kedua. Semakin tinggi kadar air suatu bahan pada saat digoreng, semakin banyak minyak yang dapat diserap. Kandungan minyak yang tinggi membuat produk padat energi sehingga mudah rancid dan merusak penampilan produk.
Perlakuan sebelumnya terhadap bahan sebelum diproses juga berpengaruh terhadap tekstur singkong. Pada singkong yang direndam pada larutan kapur selama 15 menit, tekstur yang diperoleh lebih renyah dan warnanya lebih cerah setelah proses frying . Perendaman pada konsentrasi air kapur tinggi sebesar 2% lebih renyah dan warna lebih cerah dibandingkan dengan konsentrasi 1% dan tanpa perendaman dalam larutan kapur. Perendaman dalam air kapur akan meningkatkan nilai ekonomi dari ceriping karena memilik warna dan penampakan yang lebih baik.
Pada prinsipnya metode enrobing hampir sama dengan dengan coating namun tekstur yang diperoleh sedikit berbeda. Pada metode coating, produk lebih lengket,     renyah namun agak keras. Produk lebih lengket disebabkan lapisan bumbu yang sangat tebal pada coating. Dengan metode enrobing stickness/lengket satu sama lain dapat dicegah karena pada saat penyemprotan bumbu tidak terlalu kental dan dilanjutkan dengan pengovenan untuk mengurangi kadar air pada produk sehingga produk lebih kering dan tidak lengket satu sama lain.
Pemanasan yang dilakukan pada metode coating hanya sekali yaitu pada proses penggorengan saja setelah itu singkong dicelupkan pada bumbu yang cair sehingga kadar airnya masih tinggi dan lapisan bumbu sangat tebal. Oleh karena itu hasilnya tidak serenyah pada metode enrobing.
·         Warna
Pada makanan terdapat warna natural yang dapat hilang pada proses pengolahan yang disebabkan oleh perubahan pH, oksidasi, dan pemanasan. Dengan proses enrobing akan memperbaiki appearance produk dengan glose dan color sehingga produk lebih menarik (Fellows, 1990). Glose dan color ini diperoleh dari edible coating yang digunakan.  Glose sendiri adalah kenampakan produk yang mengkilap. Dalam praktikum ini, warna glose diperoleh dari larutan bumbu cabe.
Sebelum pengovenan, diperoleh warna ceriping singkong merah kecoklatan karena larutan yang disemprotkan pada ceriping masih pekat, belum melalui pemanasan. Setelah pengovenan, warna berubah menjadi merah jingga karena selama proses pemanasan terjadi reaksi-reaksi kimia yang mengakibatkan refleksitas dan warna produk berubah. Hal ini juga disebabkan penguapan sebagian cairan bumbu yang di dalamnya terdapat pigmen dari cabe merah sehingga warna terlihat lebih muda.
Jika dibandingkan dengan produk coating, warna coating lebih gelap karena bumbu pada ceriping lebih pekat dan lapisannya tebal. Serta tidak mengalami proses pemanasan yang berpengaruh pada warna produk.
·         Rasa dan flavor
Dipengaruhi oleh formulasi bumbu yang digunakan dan proses yang dikenakan pada bahan. Bahan pangan memiliki senyawa kompleks yang mudah menguap yang memberikan karakteristik khas. Ini mungkin hilang selama proses pengolahan. Volatile compound bahan pangan pada umumnya dapat hilang karena pemanasan, radiasi ionik, dan oksidasi (Fellows, 1990).
Rasa dan flavor ceriping singkong setelah proses pengovenan lebih enak namun tidak sepedas jika dibandingkan dengan sebelum pengovenan. Hal ini dikarenakan bumbu yang digunakan lapisannya tipis sehingga bumbu belum benar-benar terserap ke lapisan dalam ceriping. Selama pemanasan dalam oven, bumbu akan lebih pekat karena sebagian besar air akan terevaporasi dan memungkinkan bumbu terserap.
Jika dibandingkan dengan coating, produk coating mempunyai rasa yang lebih enak dan lebih manis dan pedas karena bumbu yang pekat dan lapisan yang tebal sehingga bumbu benar-benar terasa. Rasa manis dan pedas pada produk coating lebih terasa. Sementara pada produk enrobing kurang. Ini disebabkan adanya senyawa-senyawa pada bumbu (cabe) yang volatile yang kemungkinan hilang selama proses pemanasan.

V. PENUTUP

A.                Simpulan
Dari hasil praktikum, dapat diperoleh kesimpulan :
3.    Coating dan enrobing adalah post processing operation yang bertujuan memperbaiki eating quality dan menambah variasi dengan cara menyalut bahan pangan dengan edible coating.
4.    Metode coating menghasilkan ceriping singkong dengan tekstur renyah dan agak keras, warna merah jingga, rasa enak, flavor manis pedas, kerataan bumbu kurang merata, dan lebih lengket. Sedangkan metode enrobing menghasilkan produk dengan kerataan bumbu yang merata, tekstur lebih renyah, rasa enak, warna lebih muda, namun rasa kurang pedas.
5.    Perendaman singkong dalam larutan kapur selama 15 menit mempunyai warna dan penampakan lebih baik.

B.  Saran
1.      Dalam penambahan larutan coating atau enrobing perlu memperhatikan jumlahnya, jangan sampai berlebihan.
2.      Suhu saat penggorengan perlu diperhatikan.

DAFTAR PUSTAKA

Afeli, R. 1998. Mikroenkapsulasi & StabilitasMinyak kaya Asam Omega 3 dari Limbah Minyak Pengalengan Ikan Tuna.Skripsi.Fakultas Teknologi Pertanian. IPB : Bogor.

Asideu, J. 1989. Prosessing Tropical Crops; a Technological Approach.   ELBS: .Hong Kong.

Deman, John.M. 1989. Kimia Makanan Edisi Kedua. ITB : Bandung
.
Fellows,P.J. 1990. Food Procesing Technologi,Principles and Practice. Ellis Howwood : England.

Grace, M,. R. 1977. Cassava Prosessing. FAO of United Nations : Roma.

Ketaren, S. 1986. Minyak dan Lemak Pangan. UI-Press : Jakarta.
Ratnawulan,N.R. 1996. Pengaruh jenis dan konsentrasi larutan kalsium serta metode Pengeringan Terhadap Mutu Keripik Kentang. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian. IPB : Bogor.
Warsito, Chandra. 2003. Pembuatan keripik Bengkoang dengan penggorengan Hampa : Pengaruh Perendaman Larutan CaO dan PenyalutanMalto dekstrinTerhadap Kualitas produk. Skripsi. Fakultas Pertanian. UNSOED: . Purwokerto.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar