ACARA I. DRYING
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Nanas termasuk komoditas buah yang mudah rusak, surut dan cepat
busuk. Oleh karena itu, setelah panen
memerlukan penanganan pasca panen yang memadai.
Buah nanas selain dikonsumsi segar, juga dapat diolah lebih lanjut
menjadi berbagai makanan dan minuman.
Untuk memperpanjang masa simpan dan mengurangi aktivitas air dapat
dilakukan dengan pengeringan, dalam hal ini dilakukan dengan pengeringan
matahari (sun drying) dan alat pengering (artificial drying). Pada
praktikum ini, praktikan mencoba untuk membandingkan perbedaan penggunaan kedua
metode pengeringan itu.
Pengeringan merupakan salah satu cara pengawetan
pangan yang paling tua. Cara ini
merupakan suatu proses yang ditiru dari alam dan telah diperbaiki
pelaksanaannya pada bagian-bagian tertentu.
Pengeringan merupakan suatu metode pengawetan pangan yang paling luas
digunakan.
Dengan
pengeringan sebagian air dari suatu bahan dapat dikeluarkan atau dihilangkan
dengan cara menguapkan air menggunakan energi panas, sehingga pertumbuhan
mikrobia dan aktivitas enzim dapat dihambat karena kadar air dapat diturunkan
sampai batas mikroba dan kegiatan enzimatis tidak dapat menyebabkan kerusakan
yang berarti.
Pada pengeringan dengan udara, udara yang dipanaskan menyediakan panas
untuk memenuhi kebutuhan panas sensibel dan panas laten pengupan air dari
bahan. Uap air kemudian ditransfer dari
permukaan bahan pangan ke udara yang mengalir atau berdifusi dari jaringan
bagian dalam ke permukaan, selanjutnya dibawa udara yang telah dipanaskan. Oleh karena itu pengeringan udara merupakan
proses pindah panas dan pindah massa secara bersamaan. Pengeringan dapat
merubah kualitas dari bahan yang dikeringkan. Oleh karena itu pada saat
praktikum perubahan itu diamati seperti
perubahan warna, tekstur, rasa, dan flavor.
Sebelum proses pengeringan terlebih dahulu dilakukan
pretreatment yaitu blanching pada sebagian bahan yang akan dikeringkan.
Sebagian bahan lagi langsung dilakukan pengeringan tanpa terlebih dahulu
diblanching. Dengan langkah kerja seperti itu dapat diketahui bagaimanakah efek
blanching terhadap kenampakan bahan dan proses pengeringan.
B. Tujuan
1.
Membandingkan pengeringan menggunakan alat pengering
kabinet (cabinet drier) dengan pengeringan matahari (sun drying).
2.
Menghitung kadar air sampai dengan falling rate
dan constant rate pada nanas yang dikeringkan dengan sun drying
dan cabinet drier baik tanpa blanching maupun dengan blanching.
3.
Mengetahui perbandingan lama waktu pengeringan sampai
dengan falling rate dan constant rate pada nanas yang dikeringkan
dengan sun drying dan cabinet drier baik tanpa blanching maupun
dengan blanching.
4.
Mengetahui perubahan-perubahan (warna, tekstur, rasa,
dan flavor) yang terjadi pada nanas yang dikeringkan dengan sun drying
dan cabinet drier baik tanpa blanching maupun dengan blanching.
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Nanas
Pada praktikum ini menggunakan sampel buah nenas.
Nenas atau nanas atau “Pineapple” bukan tanaman asli Indonesia, tetapi berasal
dari benua Amerika. Nanas termasuk
komoditas buah yang mudah rusak, susut dan cepat busuk. Oleh karena itu, seusai panen memerlukan
penanganan pasca panen yang memadai.
Tujuan pengolahan buah nanas
secara umum diantaranya adalah :
1.
Menyelamatkan produksi yang melimpah saat panen raya
(panen besar) dari risiko busuk dan harga rendah.
2.
Meningkatkan nilai bentuk, nilai tambah, dan nilai guna
dari produk tersebut.
3.
Menunjang pengembangan agroindustri di perkotaan maupun
pedesaan dalam rangka meningkatkan pendapatan masyarakat, menambah peluang
usaha dan lapangan kerja, serta mendukung program penganekaragaman
(diversifikasi) pangan bergizi bagi penduduk (Rukmana, Rahmat, 1996).
b. Blanching
Menurut
Desrosier (1988) blanching merupakan perlakuan pendahuluan (pretreatment)
antara preparasi dengan raw material
dengan kegiatan-kegiatan selanjutnya, yaitu pengolahannnya sendiri yang
menyangkut sterilisasi, dehidrasi dan freezing. Blanching bertujuan
menginaktivasi enzim dalam buah dan sayur sebelum pengolahan lebih lanjut.
Blanching bisanya dikombinasikan dengan peeling atau clening makanan dengan maksud menghemat biaya-biaya yang
digunakan untuk knsumsi energi, ruang dan peralatan.
Blanching
dibagi menjadi dua metode, yakni blanching menggunakan air panas (hot water
blanch) atau menggunakan uap panas (steam blanch). Pada industri modern,
blanching dilakukan hanya dengan menggunakan belt yang dilewatkan lewat spray
steam. Dengan teknik ini maka proses blanching akan lebih merata (Earle, 1969).
c.
Pengeringan
Taib (1987) menyatakan dehidrasi berarti
mengendalikan kondisi iklim di dalam suatu ruangan atau lingkungan mikro. Sedangkan untuik pengeringan matahari
kondisinya diserahkan pada unsur-unsurnya.
Pengeringan pangan berarti pemindahan air dengan sengaja dari bahan
pangan. Pada kebanyakan peristiwa,
pengeringan berlangsung dengan penguapan air yang terdapat dalam bahan pangan
dan untuk ini panas laten harus diberikan.
Dua faktor proses pengeringan yang penting yang dimasukan ke dalam
satuan operasi pengeringan yaitu :
a.
Pemindahan panas untuk memenuhi kebutuhan panas laten
yang diberikan.
b.
Penggunaan air atau uap air melalui bahan pangan dan
kemudian keluar bahan untuk mempengaruhi pemisahan dari bahan pangan (Earlie,
R.L, 1969).
Suharto (1991) mengungkapkan dehidrasi merupakan
suatu proses yang lebih mahal daripada pengeringan matahari, bahan pangan
kering yang dihasilkan dari proses dehidrasi memiliki harga yang lebih tinggi,
karena kualitasnya yang lebih baik.
Bahan pangan kering yang dihasilkan dari suatu alat pengering, kadar gulanya
lebih tinggi, sebesar kadar gula yang hilang karena ada respirasi jaringan yang
berlangsung terus selama pengeringan matahari dan juga karena adnya fermentasi.
Bila kedua-duanya dikerjakan dalam kondisi yang
optimum, warna buah kering matahari lebih baik daripada buah kering
buatan. Selama pengeringan matahari
secara pelan-pelan, perkembangan warna dari buah yang masih muda akan tetap
berlangsung terus. Hal ini tidak akan terjadi
selama dehidrasi (Desrosier, 1988).
Didasarkan atas biaya, pengeringan mataharui lebih
menguntungkan, tetapi didasarkan atas waktu pengeringan dan kualitas,
dehidrasai lebih menguntungkan.
Selanjutnya pengeringan matahari tidak dapat dipraktekkan secara luas,
karena beberapa daerah yang sesuai untuk pemukiman dan mengusahakan pertanian
memiliki kondisi cuaca yang tidak baik (Desrosier, 1988).
Pada umumnya udara digunakan sebagai medium
pengering, sebab jumlahnya cukup banyak, mudah digunakan dan pemanasan yang
berlebihan dapat dikendalikan. Udara
digunakan untuk menghantarkan panas ke dalam pangan yang dikeringkan dan
membentuk uap air yang dibebaskan dari bahan pangan. Tidak ada suatu sistem pengambilan air yang
diperlukan terhadap udara, seperti yang diperlukan dengan gas-gas lain. Pengeringan dapat dilakukan dengan berangsur-angsur
dan adanya kecenderungan menjadi gosong dan berubah warna selalu
terkendali. Menurut (Desrosier, 1988),
buah-buahan lebih banyak yang diawetkan dengan pengeringan daripada dengan cara
pengawetan pangan yang lain.
III. METODE PRAKTIKUM
A. Alat dan Bahan
Alat : Bahan :
1.
Pengering kabinet 1. Satu buah nanas
2.
Nampan 2. Alumunium foil
3.
Cawan porselen 3. Tisu
4.
Oven 4. Air
5.
Desikator
6.
Timbangan
7.
Pisau
8.
Panci/alat kukus
9.
Stopwatch
10.
Kompor gas
B. Prosedur Kerja
Buah nanas dipotong
tipis-tipis.
¯
Setengah bagian
diblancing dengan metode steam blanching selama 2 menit dan setengahnya
lagi tidak diblancing.
¯
Masing-masing dibagi
2 untuk cabinet drier dan sun drying.
¯
Bahan diletakkan
dalam nampan dengan alas alumunium foil
¯
Nampan 1
dimasukkan ke cabinet drier sampai falling rate, dan diukur kadar
airnya. Nampan 2 dijemur sampai constant
rate dan dijemur lagi selama 30 menit (falling rate)
¯
Bahan dimasukkan dalam cawan (4
cawan), 2 cawan untuk cabinet drier (blanching dan non blanching), dan 2 cawan
lain untuk sun drying (blanching dan non
blanching).
¯
Bahan dalam cawan 1 dimasukkan
ke oven selama 3 jam, desikator selama 30 menit, ditimbang , masukan ke oven
lagi selama 30 menit begitu seterusnya sampai berat konstan. Untuk nampan 2 (sun drying) perlakuannya sama
seperti nampan 1 tetapi waktu di oven langsung
30 menit dan sampai berat konstan.
¯
Kadar air
dihitung baik yang falling rate maupun
constan rate
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Hasil
Keterangan
|
Sun drying no
blanching
|
Cabinet drying no blanching
|
Sun drying with blanching
|
Cabinet drying with blanching
|
Lama waktu
sampai falling rate
K.a. s.d.
constant rate
K.a. s.d
falling rate
Warna
Tekstur
Rasa
Flavor
|
6 jam
db = 40,41 %
wb = 28,64 %
db = 99,01 %
wb = 49,51 %
Kuning
kecoklatan
Lebih lunak
Manis ( ++ )
Enak (+)
|
1 jam 42 menit
db = 30,07 %
wb = 23,12 %
db = 26,71 %
wb = 21,08 %
Kuning muda
Lunak
Manis ( ++ )
Enak (++)
|
6 jam
db = 74,36 %
wb = 42,65 %
db = 69,75 %
wb = 41,09 %
Kuning
Kering, agak
keras
Manis ( + )
Enak (++)
|
1 jam 30 menit.
db = 22,78 %
wb = 18,65 %
db = 24,41 %
wb = 19,62 %
Kuning
kecoklatan
Agak keras
Manis ( + )
Enak (+)
|
A. Kabinet Drier
Berat sample (W1)
1. Sampai dengan Constant rate.
Blanching = 1,93 g
No blanching = 1,86 g
2. Sampai dengan akhir (falling
rate).
Blanching = 2,09 g
No blanching = 2,04 g
Berat sampel setelah dikeringkan konstan (W2)
1. Sampai dengan Constant rate.
Blanching = 1,58 g
No blanching = 1,43 g
2. Sampai dengan akhir (falling
rate).
Blanching = 1,68 g
No blanching = 1,61 g
Kehilangan berat (W3) = W1-W2
1. Sampai dengan Constant rate.
Blanching = 0,36 g
No blanching = 0,43 g
2. Sampai dengan akhir (falling
rate).
Blanching = 0,41 g
No blanching = 0,43 g
B. Sun Drying
Berat sample (W1)
1. Sampai dengan Constant rate.
Blanching = 2,04 g
No blanching = 2,06 g
2. Sampai dengan akhir (falling
rate).
Blanching = 2,02 g
No blanching = 2,02 g
Berat sampel setelah dikeringkan konstan (W2)
1. Sampai dengan Constant rate.
Blanching = 1,17 g
No blanching = 1,46 g
2. Sampai dengan akhir (falling
rate).
Blanching = 1,19 g
No blanching = 1,01 g
Kehilangan berat (W3) = W1-W2
1. Sampai dengan Constant rate.
Blanching = 0,87 g
No blanching = 0,59 g
2. Sampai dengan akhir (falling
rate).
Blanching = 0,83 g
No blanching = 1,00 g
Perhitungan
A. Kabinet Drier
% Kadar air (dry basis) =
1. Sampai dengan Constant rate.
Blanching =
Non Blanching =
2.
Sampai dengan akhir (falling rate).
Blanching =
Non Blanching =
% Kadar air (wet basis) =
1. Sampai dengan
Constant rate.
Blanching =
Non Blanching =
2.
Sampai dengan akhir (falling rate).
Blanching =
Non Blanching =
B. Sun Drying
% Kadar air (dry basis) =
1. Sampai dengan
constant rate.
Blanching =
Non Blanching =
2.
Sampai dengan akhir (falling rate).
Blanching =
Non Blanching =
% Kadar air (wet basis) =
1. Sampai dengan
constant rate.
Blanching =
Non Blanching =
2. Sampai dengan akhir (falling rate).
Blanching =
Non Blanching =
B. Pembahasan
Pengeringan berlangsung dengan penguapan air yang
terdapat dalam bahan pangan dan untuk ini panas laten harus diberikan.
Pengeringan mempunyai beberapa keuntungan dan kerugian. (Taib, 1988)
v
Keuntungannya antara lain:
a)
Bahan menjadi
lebih awet.
b)
Berat bahan juga menjadi berkurang sehingga memudahkan
pengangkutan, sehingga biaya lebih murah.
c)
Volume bahan menjadi lebih kecil sehingga mempermudah dan
menghemat ruang pengangkutan dan pengepakan.
v
Kerugiannya antara lain:
a)
Perubahan kualitas kimia seperti penurunan kandungan
vitamin C, terjadinya pencoklatan, dan organoleptisnya.
b)
Perubahan-perubahan sifat fisis seperti pengerutan, warna, kekerasan.
Pemilihan
cara pengeringan dipengaruhi oleh jenis komoditi dan teknologi yang tersedia
(Fellows, 1990). Pada praktikum kali ini, pengeringan dilakukan dengan dua cara
yaitu pengeringan secara alami dengan menggunakan sinar matahari atau
penjemuran dan pengeringan buatan dengan menggunakan alat pengering cabinet.
Pengering Kabinet
Pengering
kabinet terdiri dari ruangan dan rigen-rigen untuk produk yang dikeringkan
dapat diletakkan didalamnya. Udara dihembukan dengan menggunakan kipas angin
melalui suatu pemanas (biasanya koil uap bersirip) dan kemudian menembus
rigen-rigen pengering yang berisi bahan yang akan dikeringkan (Taib, 1987).
Ø Kelebihan
pengering kabinet antara lain:
1)
Murah pembuatannya.
2)
Mudah pemeliharaannya
3)
Aktifitas pengeringan diperlukan tanah yang
lebih sedikit. Luas areal yang dibutuhkan dapat ditekan dengan memperbanyak
rak-rak pengeringan secara vertical.
4)
Kualitas lebih terjamin daripada yang
dikeringkan dengan penjemuran karena dilakukan pada ruang tertutup maka
kebersihan, tingkat rehidrasi lebih baik dari pengeringan alami.
Dari hasil pengamatan kadar air hasil pengeringan dengan sun drying
dengan blanching 69,75 % relatif lebih
tinggi daripada dengan kabinet dryer dengan blanching = 24,41 %.
5)
Lebih efisien karena memungkinkan
pengeringan dilakukan di sembarang waktu tanpa terikat musim. Kecepatan, suhu,
kelembaban, dan debit aliran udara kering dapat diatur sesuai dengan
karakteristik bahan yang akan dikeringkan.
Hasil
pengamatan diperoleh waktu pengeringan dengan cabinet drying non blanching
selama 1 jam 42 menit sedangkan cabinet drying dengan blanching selama 1 jam 30
menit. Tetapi untuk pengeringan alami ( sun drying ), waktu yang diperoleh sama
yaitu 6 jam. Hal ini membuktikan pengeringan dengan kabinet dryer lebih efisien
waktunya dibandingkan sun drying.
Ø
Kelemahan pengering kabinet antara lain:
1)
Pengontrolan terhadap kualitas kurang baik
2)
Produk-produk dengan kualitas yang lebih
beragam.
3)
Pada umumnya pengering ini digunakan dalam
skala kecil (1-20 ton per hari).
4)
Lebih mahal daripada pengeringan matahari,
tetapi bahan pangan kering yang dihasilkan dari proses pengeringan dengan
pengering kabinet memiliki harga yang lebih tinggi daripada pengeringan
matahari.
Sun Drying
Sun drying merupakan pengeringan dengan sumber panasnya
berupa cahaya matahari, kondisinya diserahkan pada unsur-unsurnya. Sedangkan
pengeringan dengan tenaga matahari mempunyai keuntungan yaitu biaya dapat lebih
rendah karena memanfaatkan energi yang sudah ada.
Bila dikerjakan dalam kondisi yang optimum, warna
buah kering matahari lebih baik daripada buah kering buatan. Selama pengeringan matahari secara
pelan-pelan, perkembangan warna dari buah yang masih muda akan tetap
berlangsung terus. Pengeringan bahan pangan dengan matahari dapat menghasikan
bahan dengan kepekatan yang tinggi dan dengan kualiatas yang lebih tahan. Hal
ini tidak akan terjadi selama pengeringan pada pengering kabinet (Desrosier,
1988).
Didasarkan atas biaya, pengeringan matahari lebih
menguntungkan, tetapi didasarkan atas waktu pengeringan dan kualitas, dehidrasi
lebih menguntungkan. Selanjutnya
pengeringan matahari tidak dapat dipraktekkan secara luas, karena beberapa
daerah yang sesuai untuk pemukiman dan mengusahakan pertanian memiliki kondisi
cuaca yang tidak baik (Desrosier, 1988).
Bahan yang dikeringkan pada
praktikum ini yaitu nenas yang telah di potong tipis.. Sebelum dilakukan
pengeringan, sebagian nenas diblancing terlebih dahulu selama 2 menit dan
sebagian lagi (yang non blanching) dikeringkan bersama-sama dengan yang sudah
diblanching, sehingga pengamatan dilakukan terhadap buah nenas dengan empat
perlakuan yang berbeda, yaitu sun drying non blancing, sun drying with
blancing, cabinet dryer non blancing dan cabinet dryer with blancing..
Blancing ini tidak
dimaksudkan untuk preservasi/pengawetan tetapi merupakan pra-treatment yang
dilakukan antara preparasi raw material dan kegiatan-kegiatan selanjutnya,
khususnya heat sterilization, dehydration dan freezing.Pretreatment blanching
harus tepat, tidak boleh kurang (underblanching) maupun over
blanching.
Blanching berlebih
Apabila
blanching berlebihan akan menyebabkan makanan rusak dan perubahan seperti
hancur, warna/pigmen berubah, komponen nutrisi hilang atau berkurang, dsb
karena panas terlalu tinggi.
Akan tetapi jika blanching kurang (underblanch)
akan mengakibatkan perubahan tidak dikehendaki pada karakteristik sensori
makanan seperti sifat-sifat nutrisional selama penyimpanan karena temperatur
maksimal freezing dan dehidrasi tidak cukup untuk inaktivasi enzim. Underblanching
juga menyebabkan kerusakan makanan lebih besar daripada tanpa blanching. Karena
panas cukup merusak jaringan akan tetapi tidak menginaktivasi enzim yang
menyebabkan bercampurnya enzim dengan substrat.
Pada
praktikum ini menggunakan steam blanching. Steam blanch menghasilkan retensi
nutrien lebih tinggi dengan cooling oleh cold air atau cold water spray. Akan
tetapi memiliki kelemahan yaitu susut bobot lebh tinggi karena evaporasi.
Cooling dengan air mengalir (fluming) dapat menaikkan looses blanching
(komponen makanan yang soluble tercuci) tetapi secara keseluruhan produk
mendapat tambahan berat dari air.
Fungsi blancing di sini antara lain:
1)
Untuk inaktivasi enzim dalam buah sebelum prosesing
lebih lanjut.
2)
Mengurangi jumlah mikrobia kontaminan pada makanan.
3)
Merusak jaringan turgiditas sel yang mengakibatkan
jaringan lebih permeable dan proses pengeringan dapat lebih cepat.
Blanching dalam percobaan ini memegang peranan penting dalam
penampakan nanas, karena memberikan warna cerah. Dari hasil pengamatan terlihat bahwa warna
buah nanas yang sebelum dikeringkan diblanching terlebih dahulu berwarna kuning
sedangkan yang tidak diblanching berwarna cokelat. Hal ini terbukti bahwa
reaksi karamelisasi dan reaksi mailard dapat dicegah dengan perlakuan
blancing.. Ini disebabkan karena blanching mampu mendestruksi enzim polifenol
oksidase pada nanas sehingga warna nanas lebih cerah. Hilangnya butiran udara
dan debu dari nanas selama blanching mengubah panjang gelombang pantulan
cahaya, juga merupakan faktor penyebab cerahnya warna nanas (Rukmana, 1996).
Selain itu pengaruh
blanching pada tekstur nanas adalah menjadikannya lunak. Rasanya relatif
menjadi kurang enak karena terjadi pengurangan kadar akibat bleaching saat
penguapan air.
Proses pengeringan ini
sangat berpengaruh terhadap kadar air dalam suatu bahan. Kadar air bahan
menunjukan banyaknya kandungan air persatuan bobot bahan. Terdapat dua metode
untuk menentukan kadar air bahan yaitu berdasarkan bobot basah ( wet basis )
dan berdasarkan bobot kering ( dry basis ). Dry basis adalah perbandingan
antara berat air dalam bahan pangan tersebut dengan berat bahan kering. Berat
bahan kering adalah berat bahan basah setelah dikurangi dengan berat airnya,
sedangkan wet basis adalah perbandingan antara air didalam bahan pangan dengan
berat bahan basah (Taib, 1987).
Pada pengeringan, suhu udara
mempunyai pengaruh yang sangat besar daslam kecepatan perpindahan uap air, oleh
karena suhu ini mengatur tekanan uap jenuh air dan juga suhu ini melengkapi
gaya tarik suhu yangf memindahkan panas untuk menguapkan air. Peningkatan
kecepatan dan suhu udara akan menyebabkan peningkatan peningkatan laju
pengeringan seperti yang diperkirakan oleh persamaan standar. Lebih lanjut
lagi, bertambah tinggi kecepatan udara akan menolong perpindahan uap air daerah
bagian atas bahan padat yang dikeringkan. ( Earle, R.C.1969 ).
Keseimbangan
tekanan uap diatas suatu bahan pangan ditentukan tidak saja oleh suhu, akan
tetapi juga oleh kandungan air bahan pangan tersebut. Cara air tersebut terikat
oleh bahan pangan dan oleh adanya kandungan yang larut di dalam air. Di bawah
pengaruh tekanan uap tertentu, bahan pangan mempunyai kandungan uap air dalam
keadaan keseimbangan dengan keadaan sekelilingnya dan keseimbangan ini disebut
keseimbangan kadar auai air bahan pangan tersebut. Laju pengeringan akan
menurun apabila kandungan uap air akan menurun, dengan air yang tertinggal akan
terikat bertambah kuat apabila jumlahnya berkurang (Earle, R L. 1969.)
Bila
makanan ditempatkan pada drier, ada suatu periode pendek penurunan inisial jika
permukaan pemanas sampai temperatur “wet bulb”. Pada saat makanan dipanaskan,
udara panas ditiupkan ke makanan yang basah, panas ditransfer ke permukaan dan
panas laten penguapan menyebabkan air menguap. Uap air mendifusi melalui boundary
film udara dan dibawa oleh aliran udara dan penurunan tekanan uap air terjadi
dari bagian interior makanan yang lembab ke udara kering, hal ini menyebabkan “
drying force” untuk menggerakkan air dari makanan dan permukaan tetap basah. (
Suharto,1991 ).
Periode ini dikenal
sebagai “constant rate period” dan berlanjut sampai tercapai “critical moisture
content”, pada periode ini air yang menguap merupakan air bebas dengan adanya
tekanan. Panas yang diberikan hanya untuk panas laten (ubah air-uap) apabila
proses menguap suhu boleh tinggi (± 180o C) namun apabila air bebas
telah hilang maka panas yang maka panas yang digunakan tidak boleh terlalu
tinggi (ka ± 15%).
Bila kadar air makanan
turun dibawah kadar air kritis, kecepatan drying turun dengan lambat sampai
dengan nol equilibrium moisture content (yaitu makanan masuk ke dalam
keseimbangan dengan drying air). Ini dikenal sebagai “falling rate period”.
Falling rate merupakan periode terpanjang dari drying. Pada beberapa makanan
falling rate satu-satunya kurva drying yang diamati.
Dalam prakteknya makanan
mempunyai kurva drying yang berbeda karena penyusutan, perubahan temperatur dan
RH udara. Selama periode konstant rate, jumlah air yang dievaporasi dari
permukaan makanan turun pelan-pelan, tetapi jika jumlah panas yang disuplai
udara sama maka temperatur permukaan naik sampai mencapai dry bulb udara
pengering. (Taib, 1987)
V. PENUTUP
A. Simpulan
Setelah melakukan pembahasan,
maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut :
- Waktu yang digunakan untuk pengeringan dengan cabinet dryer lebih cepat daripada dengan sun drying.
- Pengeringan nanas dengan metode artificial (kabinet drier) memiliki keunggulan dibandingkan dengan non artificial (sun drying).
- Kadar air hasil pengeringan dengan sun drying relatif lebih tinggi daripada dengan kabinet dryer.
- Perlakuan metode pengeringan, blanching memberikan efek yang berbeda pada nanas.
B. Saran
1.
Dalam penggunaan metode pengeringan, perlu
mengetahui efek dari metode tersebut terhadap bahan yang dikeringkan.
2.
Penggunaan panas saat pengeringan perlu
diperhatikan, terutama pada saat kondisi
falling rate.
3.
Sebelum melakukan pengeringan untuk
memperbaiki kenampakan produk, dapat dilakukan pretreatment yaitu blanching.
DAFTAR PUSTAKA
Desroiser, Norman. W. 1988. Teknologi Pengawetan Pangan. UI Press :
Jakarta
Earle, R.L.1969. Satuan Operasi
dalam Pengolahan Pangan. Sastra Hudaya : Bogor
Fellows.P.1990. Food Processing
Technologi Principle And Practice. Ellis Horwood limited : England.
Potter, Norman N.1973. Food Science.
The Avi Publishing Company. INC : Westport Connecticut.
Rukmana,
Rahmat. 1996. Nenas Budidaya dan Pascapanen. Kanisius : Yogyakarta.
Suharto.1991. Teknologi Pengawetan
Pangan. Bineka Cipta : Jakarta
Taib, Gunarif. 1987. Operasi Pengeringan pada Pengolahan
Hasil Pertanian. PT Melton Putra : Jakarta.
ACARA II. EKSTRUSI
I.
PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Proses ekstrusi adalah suatu cara atau pengolahan pangan dimana bahan
pangan yang akan diolah akan mengalami sekaligus :
1. Mixing (pencampuran)
2. Cooking (pemasakan)
3. Kneading (peremasan)
4. Shearing (pemotongan)
5. Shaping dan forming (pembentukan)
Peran teknologi ekstrusi menjadi
penting karena mempunyai beberapa keuntungan diantaranya :
1. Hasil produk seragam
2. Hemat biaya
3. Kecepatan tinggi dan otomatis
4. Limbah sedikit
5. Pengoperasian mudah
Alat yang digunakan untuk melakukan proses ekstrusi disebut ekstruder.
Pada intinya ekstruder terdiri atas sekrup pemompa dan sekrup pembawa.
Ekstruder dapat digunakan untuk produk-produk yang berbentuk pasta seperti
makaroni, vermicelli, dan spagheti.
B. Tujuan
Praktikum ini bertujuan :
1. Untuk mengetahui pengaruh penambahan zat atau
bahan tertentu seperti gula merah, mentega pada hasil ekstrusi.
2. Untuk mengetahui proses kerja alat ekstrusi
(ekstruder)
II. TINJAUAN PUSTAKA
Material-material yang berukuran kecil dapat digabungkan untuk membentuk
material yang lebih besar agar mencapai bentuk dan ukuran produk yang
dikehendaki. Sebaliknya untuk bahan-bahan yang berukuran besar dapat dilakukan
penekanan dan pemotongan sesuai dengan bentuk dan ukuran yang dikehendaki.
Proses seperti ini menurut Suyitno (1989) biasanya dapat dilakukan dengan suatu
alat yang disebut ekstruder , sedangkan prosesnya disebut ekstrusi.
Menurut Fellows (1990), dua
faktor yang berpengaruh besar terhadap produk ekstrusi adalah kondisi operasi
ekstruder dan sifat rheologik makanan. Parameter operasi yang penting adalah
suhu, tekanan, diameter lobang, dan kecepatan potong. Sifat material makanan
berpengaruh penting terhadap tekstur dan warna hasil ekstrusi. Faktor lain yang
lebih penting adalah kandungan air, bentuk fisik material, dan komposisi
kimianya, terutama jenis dan jumlah pati, protein, lemak dan gula.
Proses ekstrusi banyak digunakan
dalam pembuatan produk-produk yang berbentuk pasta seperti makaroni,
vermicelli, dan spagheti. Menurut Suyitno (1989) mekanisme ekstrusi dimulai
dengan cara memasukan bahan makanan kedalam saluran pemasukan serta melalaui
lobang umpan, masuk ke dalam saluran ulir. Ulir ini berputar didalam penutup
(barrel) yang memiliki sisi yang keras. Sewaktu bahan-bahan dialirkan
disepanjang saluran ulir maka terjadi proses pencampuran, pemanasan, dan
pemotongan secara bersama-sama. Setelah mendekati bagian keluaran (di dekat
pipa), bahan-bahan tersebut diubah bentuknya menjadi bahan yang termoplastik
dan viskoelastis pada tekanan tinggi. Akhirnya bahan-bahan tersebut akan
dikeluarkan melalui pipa atau saluran pengeluaran.
Menurut Suyitno ada lima tipe
ekstruder yang biasa digunakan dalam industri makanan yaitu :
1. Ekstruder untuk bahan berbentuk pasta
(ekstruder pasta)
Ekstruder
ini digunakan untuk membentuk makanan atau produk yanag sama yang berasal dari
adonan.Tipe ini yang paling ideal karenan memiliki penutup yang berpermukaan
halus dan tidak ada bagian yang mengalirkan bahan padat (dari adonan) serta
memiliki bentuk geometris ulir konstan.
2. Ekstruder bertekanan tinggi
Jenis ini
digunakan untuk penekanan dan pembentukan adonan yang belum mengalami proses
gelatinisasi dan diumpankan dalam produk-produk yang diminta sesuai dengan
proses selanjutnya.
3. Ekstruder tipe “Low-Shear Cooking”
Tipe ini
digunakan sebagai alat pemasak kontinyu terutama untuk adonan atau masukan yang
mempunyai kandungan air cukup tinggi. Dismping itu ekstruder ini dapat disebut
sebagai tipe yang fleksibel dan banyak digunakan dalam berbagai keperluan.
Hasil dari proses ekstrusi oleh tipe ini harus diproses lebih lanjut seperti
proses pengeringan, pembekuan dan sebagainya.
4. Ekstruder Collet
Keistimewaan ekstruder ini adalah
memiliki daya potong tinggi dan waktu tinggal bahan dalam ekstruder yang
singkat. Jenis ini biasa digunakan untuk membuat makanan kecil yang
dikembangkan seperti “corn curts”. Keunggulan lainnya adalah membutuhkan
sedikit panas baik sebelum atau sesudah proses ekstrusi.
5. Ekstruder “High-Shear Cooking”
Cara kerjanya hampir sama dengan
ekstruder collet kecuali waktu tinggal dalam ekstruder lebih lama dan panas
dapat dihilangkan dengan pendinginan penutup. Alat ini fleksibel dibandingkan
dengan ekstruder collet karena dapat menghasilkan produk seperti “puffed
cereals”, snack, makanan ternak dengan kisaran luas baik makanan kering atau
campuran.
III. METODE PRAKTIKUM
A. Alat dan Bahan
1. Alat
- Pisau
- Ekstruder
- Nampan
- Baskom
- Dandang dan kompor
2. Bahan
- Ketela pohon
- Gula merah
- Mentega
- Tepung penyulut
B. Prosedur Kerja
Umbi ketela pohon 5
kg dikupas dan dibersihkan dengan air.
¯
Ketela pohon yang telah bersih
dikukus dalam dandang selama beberapa menit hingga menjadi agak lunak.
¯
Ketela
pohon yang telah lunak didinginkan dan dihaluskan dengan ditambah bahan
tertentu. Perlakuan I (ketela pohon + gula 40%), perlakuan II (ketela pohon +
mentega 20%), perlakuan III (tanpa gula merah dan mentega).
¯
Masing-masing dimasukan dalam
ekstruder hingga diperoleh hasil ekstrusi sesuai yang diinginkan.
¯
Hasil ekstrusi digoreng yang
sebelumnya diolesi dengan tepung penyulut.
Amati rasa, warna, aroma, dan
tekstur tiap perlakuan.
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Hasil
Perlakuan I : Ketela pohon + gula 40%
Perlakuan II : Ketela pohon + mentega 20%
Perlakuan III : Tanpa gula merah dan mentega
·
Setelah
digoreng 1x penggilingan
PERLAKUAN
|
PENGAMATAN
|
|||
WARNA
|
RASA
|
AROMA/BAU
|
TEKSTUR
|
|
Pertama
Kedua
Ketiga
|
Sangat coklat
putih
putih
|
Sangat manis
Gurih +
Tidak berasa
|
Gula merah lebih terasa
Mentega sedikit terasa
Bau ketela pohon dominan
|
Agak kasar
Lembut
Agak kasar
|
·
Setelah
digoreng 2x penggilingan
PERLAKUAN
|
PENGAMATAN
|
|||
WARNA
|
RASA
|
AROMA/BAU
|
TEKSTUR
|
|
Pertama
Kedua
Ketiga
|
Sangat coklat
Putih kecoklatan
Putih kecoklatan
|
Sangat manis
Gurih ++
Tidak berasa
|
Gula merah lebih terasa
Mentega sedikit terasa
Bau ketela pohon dominan
|
Lunak
Lembek
Agak keras
|
B. Pembahasan
Getuk goreng merupakan produk
olahan dengan bahan setengah jadinya berbentuk adonan (pasta). Menurut Fellows
(1990) dan Suyitno (1989) untuk mengolah bahan bentuk adonan digunakan
ekstruder pasta yang mekanisme kerjanya dilakukan ulir tunggal atau single screw extruder.
Dalam percobaan ini digunakan
ketela pohon sebagai bahan dasar proses ekstrusi yang sebelumnya diberi
perlakuan yang berbeda. Hasil ekstrusi selanjutnya dilakukan proses
penggorengan untuk dibedakan warna, rasa, aroma, dan tekstur sebagai akibat
perlakuan yang berbeda pada adonan hasil ekstrusi.
1. Warna
Penggunaan warna pada proses
ekstrusi makanan bertujuan untuk menambah daya tarik makanan. Pemberian warna
biasanya dilakukan sebelum proses ekstrusi dilakukan. Pada perlakuan pertama
warna yang timbul adalah sangat kecoklatan hal ini karena adanya penambahan
gula merah. Sedangkan pemberian mentega memberikan warna putih pada perlakuan
kedua. Sedangkan perlakuan ketiga, warna yang terbentuk adalah kecoklatan
seperti warna ketela pohon.
2. Rasa
Untuk mempertinggi cita rasa
biasanya penambahan rasa dilakukan pada bahan sebagai bagian dari unsur makanan
campuran pada ekstruder tetapi peningkatan rasa terjadi setelah produk ekstrusi
terbentuk. Penambahan gula merah pada
perlakuan pertama menyebabkan hasil ekstrusi mempunyai rasa yang sangat manis.
Rasa mentega yang asin akan terasa pada hasil ekstrusi pada perlakuan kedua.
Pada perlakuan ketiga hasil ekstrusi tidak berasa, hanya rasa ketela pohon yang
terasa.
3. Aroma
Aroma merupakan salah satu faktor
dalam menentukan mutu serta merupakan kriteria yang dipakai dalam menentukan
diterima atau tidaknya suatu produk untuk dipasarkan. Aroma gula merah lebih
terasa pada perlakuan pertama tidak demikian dengan perlakuan kedua penambahan
mentega tidak begitu berpengaruh terhadap aroma hasil ekstrusi. Aroma ketela
pohon lebih terasa pada perlakuan kedua seperti halnya pada perlakuan keempat.
4. Tekstur
Tekstur, sifat lunak, garing, dan
atau teguh merupakan sifat-sifat yang penting dalam mutu pangan. Tiap pangan
memiliki perbedaan yang sangat luas dalam hal sifat fisik dan strukturnya. Pada
perlakuan pertama tekstur hasil ekstrusi adalah lunak hal ini dikarenakan
adanya penambahan gula merah. Semakin tinggi jumlah gula merah yang ditambahkan
akan menyebabkan hasil ekstrusi semakin lunak. Sifat mentega yang plastis
mengakibatkan hasil ekstrusi pada perlakuan kedua menjadi lembek. Pada
perlakuan ketiga, campuran mentega dan gula merah menyebabkan hasil ekstrusi
tidak begitu lunak maupun keras. Pada perlakuan ketiga ini merupakan hasil
ekstrusi yang paling baik. Sedangkan pada perlakuan keempat hasil ekstrusi agak
keras seperti sifat asli dari ketela pohon.
V. PENUTUP
A. Simpulan
Dari hasil praktikum, dapat
diperoleh kesimpulan :
1. Penambahan zat atau bahan tertentu seperti
gula merah, mentega berpengaruh terhadap rasa, warna, aroma, dan tekstur hasil
ekstrusi.
2. warna gelap atau coklat dihasilkan karena
adanya reaksi antara gula-gula pereduksi dengan protein.
B. Saran
Proses
ekstrusi sebaiknya dilakukan dalam rangka meningkatkan berbagai jenis makanan
sehingga nilai ekonominya menjadi lebih tinggi.
DAFTAR PUSTAKA
.
Fellows,P.1990. Food Processing Technology Principles and
Practice. Ellis Horwood : England.
Harper,J M.1989. Extrution Of Food. CRC Press Inc.Boca Rotan : Florida.
Kartika, Bambang.Dkk.1992. Petunjuk Evaluasi Produk Industri Hasil
Pertanian, Pusat Antar Universitas
Pangan dan Gizi : Yogyakarta.
Suyitno.1989. Rekayasa Pangan. Universitas Gajah Mada : Yogyakarta.
ACARA III. FRYING, COATING, DAN ENROBING
I. PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Jenis makanan sangat bervariasi, baik
dari segi bahan baku, proses pengolahan, penampilan bahkan rasanya. Makanan
tersebut memang sengaja dibuat dan didesain sedemikian rupa untuk menarik
perhatian. Namun terkadang kita tidak tertarik pada suatu makanan walaupun
sebenarnya rasanya enak. Sebaliknya kita tertarik kepada makanan tertentu dan
ingin mengkonsumsinya padahal rasanya belum tentu enak. Kejadian seperti ini
kerap kita temui dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini antara lain dipengaruhi
oleh penampilan atau bentuk dan warna makanan tersebut. Oleh karena itu perlu
adanya suatu cara untuk mengatasi masalah diatas, misalnya melalui metode
coating dan enrobing.
Pada prinsipnya coating dan enrobing
adalah cara pelapisan makanan, hanya saja terdapat sedikit perbedaan yaitu pada
enrobing, pelapisan makanan dilakukan dengan penyemprotan. Sebelum masuk ke
proses coating atau enrobing ada beberapa proses yang dilewati, misalnya
penggorengan (frying). Bahan pangan
yang digoreng merupakan sebagian besar dari menu manusia, oleh karena itu
jumlah bahan pangan digoreng sangat besar. Proses penggorengan memegang peranan
yang penting sebelum akhirnya dilakukan pelapisan. Selain dapat memperbaiki
penampilan,coating dan enrobing juga mempunyai fungsi lain. Misalnya dapat
menaikkan shelf life (penyimpanan
pada suhu ruang) karena coating bertindak sebagai barier terhadap O2,
CO2, aroma-aroma volatile dan senyawa-senyawa lain. Selain itu juga
sebagai pembawa ingredient yang ditambahkan seperti flavoran, antioksidan,
antimicrobial, dll. Oleh karena fungsinya itu, coating dan enrobing banyak
diterapkan dalam pembuatan makanan.
B. Tujuan
a.
Mengetahui prinsip kerja frying, coating, dan enrobing
b.
Membandingkan hasil akhir tekstur, warna, rasa, dan flavor dari metode
enrobing dan coating
c.
Mengetahui pengaruh perendaman singkong dalam larutan
kapur pada tekstur, warna, rasa, dan flavor singkong
II. TINJAUAN PUSTAKA
Fellows (1990) menyatakan frying adalah proses pemanasan
dengan menggunakan media minyak panas. Sebenarnya tujuan dari frying
adalah memperbaiki eating quality makanan, namun frying juga memberikan
efek preservatif dari destruksi thermal
oleh mikrooganisme dan enzim dan mengurangi air bebas pada makanan.
Frying dapat menggunakan wajan cekung, shallow pan, dan alat penggoreng
vakum. Dengan menggunakan suhu tinggi,
dapat mereduksi waktu processing dan meningkatkan produksi. Tetapi suhu tinggi
dapat menyebabkan deterioration atau
kemunduran pada minyak menjadi asam lemak bebas, ataupun perubahan
pada flavor, viscositas, maupun warna minyak (Ratnawulan, 1996).
Ketaren (1996) menyatakan saat makanan diletakkan pada minyak panas, suhu
pada permukaan meningkat dengan cepat sehingga air menguap. Suhu pada permukaan
meningkat sekitar 100 oC. Saat proses frying, air yang menguap dari
dalam makanan itu digantikan minyak
panas.
Waktu frying makanan dtentukan oleh tipe makanan,
perubahan yang diinginkan, temperatur minyak, metode frying, dan thickness pada
makanan (Fellows, 1990).
Fellows (1990) menyatakan coating dan enrobing adalah kegiatan
setelah proses yang dilakukan dengan
menyalut makanan dengan edible coating.
Tujuan utama coating dan enrobing adalah memperbaiki eating quality dan
menambah variasi jumlah makanan. Selain itu, dapat memperbaiki karakteristik
perlakuan , penampilan, dan sebagai pembawa ingredient yang ditambahkan.
Selain itu dapat menaikkan umur simpan makanan atau mencegah makanan menuju
kemunduran atau deterioration karena bertindak sebagai barrier
pergerakan uap air, gas O2 , gas CO2 , aroma volatile dan
senyawa-senyawa lain.
Asideu (1989) mengungkapkan produk coating dan enrobing dapat diubah
sesuai yang dikehendaki karena dapat melindungi dari kerusakan mekanis.
Kenekaragaman penyalut yang digunakan untuk memberikan suatu bahan appearance
yang berbeda dari penampilan sebelumnya, yaitu berupa gloss dan color
dapat menjadi keunggulan dari produk itu sendiri. Setelah mengalami coating dan
enrobing, bahan makanan biasanya akan mengikuti ingredient yang dibawa
oleh penyalutnya.
Ketebalan dari coating dan enrobing ditentukan oleh
viscositas bahan. Semakin tinggi viscositas bahan akan semakin tebal bumbu yang
menyelimuti bahan makanan (Warsito, 2003).
Proses coating dan enrobing menghasilkan perubahan pada warna, rasa,
tekstur, dan juga flavor. Menurut Deman (1989) warna penting bagi banyak makanan.
Warna memberikan petunjuk mengenai perubahan kimia pada makanan, seperti reaksi
browning. Tekstur merupakan faktor penentu mutu makanan daripada warna dan
rasa. Ciri dari tekstur adalah renyah, berminyak, rapuh, empuk, bersari,
menepung, dan mengeripik. Flavor
merupakan kombinasi bau, rasa, dan mouthfeel.
Bahan yang digunakan
pada praktikum kali ini adalah umbi singkong. Menurut Grace (1977) umbi
singkong memiliki sifat yang mudah busuk sehingga memerlukan adanya penanganan
tertentu. Pada singkong terdapat senyawa HCN yang beracun sehingga memerlukan
perendaman kapur. Selain itu, proses perendaman juga akan memperbaiki
kenampakan dan warna pada produk makanan. Saat pemotongan tidak boleh terlalu
tebal, untuk menghindari case hardening (bagian permukaan produk sudah
kering tetapi bagian dalamnya belum matang atau masih basah).
III. METODE PRAKTIKUM
A. Alat dan Bahan
A. Alat dan Bahan
- Alat
1.
Pisau
2.
Talenan
3.
Wajan
4.
Sprayer / penyemprot
5.
Panci
6.
Blender
7.
Baskom
8.
Saringan
- Bahan
1.
Singkong
2.
Cabe Merah
3.
Gula
4.
Garam
5.
Minyak
6.
Air
7.
larutan kapur 1% dan 2%
B. Prosedur Kerja
B. Prosedur Kerja
Singkong
dikupas hingga bersih lalu diiris tipis-tipis
¯
Diberi
perlakuan perendaman pada larutan kapur 1%, 2%,
dan
tanpa perendaman pada larutan kapur
¯
Irisan
singkong yang direndam pada larutan kapur ditiriskan
lalu
dicuci bersih
¯
singkong
digoreng ½ matang, ditiriskan, kemudian digoreng kembali
¯
sementara
singkong digoreng, buat bumbu untuk coating dan enrobing
¯
cabe
merah di steam blanching selama 5 menit
¯
Cabe
diblender dengan penambahan air 300 ml
¯
Disaring
kemudian dimasak dengan penambahan gula dan garam secukupnya
Perbandingan cabe dengan gula adalah 1
:2
½ bumbu dipisahkan untuk
enrobing ½ bumbu lainnya dimasak hingga
saat campuran belum terlalu kental kental untuk
coating
didinginkan didinginkan
bumbu dimasukkan pada sprayer dituang pada wadah
Disemprotkan pada sebagian singkong sebagian singkong yang
telah
yang telah digoreng digoreng
dicelupkan pada bumbu
Diamati
kerataan bumbu, tekstur, warna, rasa, dan flavor
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Hasil
Tanpa perendaman dalam larutan kapur
Tanpa perendaman dalam larutan kapur
Frying
|
Coating
|
|
Kerataan Bumbu
|
-
|
Rata
|
Tekstur
|
Renyah
|
Renyah, agak keras
|
Warna
|
Kuning kecoklatan
|
Merah jingga ++
|
Flavor
|
Enak
|
Enak
|
Rasa
|
Gurih / tawar
|
Manis pedas +++
|
Enrobing
Kerataan
Bumbu
|
Tekstur
|
Warna
|
Flavor
|
Rasa
|
|
Sebelum Pengovenan
|
Rata
|
Renyah
+
|
Merah
Kecoklatan
|
Enak
+
|
Manis
pedas
++
|
Setelah
Pengovenan
|
Rata
|
Renyah
++
|
Merah
Jingga
+
|
Enak
++
|
Manis
pedas +
|
DATA PEMBANDING
Perendaman dalam larutan kapur 1%
Frying
|
Coating
|
|
Kerataan Bumbu
|
-
|
Rata
|
Tekstur
|
Renyah
|
Renyah, lengket
|
Warna
|
Kuning kecoklatan
|
Merah kecoklatan
|
Flavor
|
Enak
|
Enak ++
|
Rasa
|
Gurih / tawar
|
Manis pedas +
|
Enrobing
Kerataan
Bumbu
|
Tekstur
|
Warna
|
Flavor
|
Rasa
|
|
Sebelum Pengovenan
|
Rata
|
Renyah
|
Coklat
Muda
|
Enak
|
Bumbu kurang
meresap
|
Setelah
Pengovenan
|
Rata
|
Renyah
|
Orange
|
Enak
|
Bumbu
meresap
|
Perendaman dalam larutan kapur 2%
Frying
|
Coating
|
|
Kerataan Bumbu
|
-
|
Rata ++
|
Tekstur
|
Renyah
|
Agak keras
|
Warna
|
Kuning kecoklatan
|
Merah
|
Flavor
|
Enak
|
Enak
|
Rasa
|
Gurih / tawar
|
Manis pedas
|
Enrobing
Kerataan
Bumbu
|
Tekstur
|
Warna
|
Flavor
|
Rasa
|
|
Sebelum Pengovenan
|
Rata
|
Renyah
|
Coklat
Muda
|
Enak
|
Manis pedas ++
|
Setelah
Pengovenan
|
Rata
|
Renyah
|
Orange
|
Enak
|
Manis
pedas +
|
B. Pembahasan
a. Frying
Proses
penggorengan sangat penting dalam proses pengolahan makanan. Media yang
digunakan dalam proses penggorengan adalah minyak. Dalam penggorengan, minyak
goring berfungsi sebagai medium penghantar panas, menambah rasa gurih. Menambah
nilai gizi dan kalori dalam bahan pangan. Namun tidak semua jenis minyak dapat
digunakan sebagai minyak goring, missal minyak biji kapas, minyak kedelai,
minyak jagung atau minyak biji bunga matahari. Hal ini disebabkan karena minyak
tersebut jika kontak dengan udara pada suhu tinggi, akan cepat teroksidasi
sehingga berbau tengik. Pemanasan minyak secara berulang-ulang pada suhu tinggi
dan waktu yang cukup lama, akan menghasilkan senyawa polimer yang berbentuk
padat dalam minyak.
Terdapat beberapa metode penggorengan antara lain metode tradisional
yaitu dengan menggunakan wajan, suhu yang digunakan sekitar 120-200oC.
Metode yang lain adalah penggorengan vakum dengan suhu ± 90oC.
Proses penggorengan dengan menggunakan penggorengan vakum memerlukan waktu yang
lebih lama bila dibandingkan dengan metode tradisional. Pada metode ini tekanan
dalam alat dibuat vakum dan dengan suhu yang rendah maka reaksi-reaksi yang
terjadi juga terbatas, misalnya reaksi karamelisasi yang terjadi pada suhu
diatas 120oC. Produk yang dihasilkan pun lebih baik, namun biaya
yang dibutuhkan juga besar.
Pada praktikum pembuatan keripik
singkong ini, metode yang digunakan adalah metode tradisional yaitu menggunakan
wajan. Jenis wajan yang digunakan sangat berpengaruh terhadap jenis produk yang
akan digoreng. Jenis wajan yang ceper biasanya untuk produk-produk seperti
sosis, burger, telur goring, martabak, dan lain-lain. Jumlah minyak yang digunakan biasanya
sedikit, dalam hal ini bahan kontak langsung dengan wajan maka transfer panas
yang terjadi adalah secara konduksi. Produk
atau hasil yang didapat tidak rata, baik tekstur, warna, maupun rasanya. Untuk
wajan yang cekung menggunakan minyak dalam jumlah yang banyak, biasanya dikenal
dengan istilah deep frying. Karena
bentuk wajan yang cekung serta minyak yang digunakan banyak, maka produk akan
tercelup semua ke dalam minyak sehingga hasil yang di dapat akan rata baik
tekstur, warna, dan rasa. Jenis wajan yang cekung biasanya digunakan untuk
menggoreng produk-produk seperti ayam, udang, krupuk, bergedel, dll. Pada
pembuatan sriping singkong ini jenis wajan yang digunakan adalah wajan yang
cekung yaitu dengan system deep frying.
Lemak yang dapat digunakan dalam
proses penggorengan secara deep frying adalah lemak nabati yang mengalami
proses dehidrogenasi (kecuali minyak olive), minyak babi (lard) bermutu tinggi
dan beberapa jenis “senyawaan shortening” yang tidak mengandung emulsifier.
Secara komersil bahan pangan yang digoreng (fried food) biasanya digoreng
dengan menggunakan system deep frying.
Ciri dari produk goreng adalah
permukannya kering dan menyerap minyak goreng. Bahan makanan menjadi kering
karena ada proses dehidrasi sebagai akibat pindah panas dari minyak goreng ke
bahan dan punya cita rasa khas karena ada pindah massa ke minyak ke dalam
produk goreng. Permukaan lapisan luar akan berwarna cokelat keemasan akibat
penggorengan. Timbulnya warna pada permukaan bahan disebabkan oleh reaksi
browning atau reaksi maillard. Tingkat intensitas warna ini tergantung dari
lama dan suhu menggoreng juga komposisi kimia pada permukaan luar dari bahan
pangan. Produk goreng umumnya mengandung proporsi resapan minyak goreng yang
tinggi sebagai akibat kontak bahan pangan dengan minyak goreng selama kegiatan
penggorengan.
Penggorengan dengan system deep frying pada suhu 163-178oC
baik digunakan untuk menggoreng kacang, dan suhu kurang lebih 198oC
baik digunakan untuk menggoreng dough nut.
Karena keripik singkong merupakan bahan pangan yang dibungkus dan tidak segera
dikonsumsi, maka dibutuhkan lemak yang bersifat stabil terhadap panas, misalnya
minyak kelapa dan minyak nabati dehidrogenasi.
Sebelum bahan digoreng, dilakukan
preparasi terlebih dahulu. Singkong dikupas dan dipotong tipis-tipis (slicing). Tebal tipisnya irisan harus
diperhitungkan. Jika irisan terlalu tebal maka akan terjadi case hardening, yaitu bagian luar telah
matang namun bagian dalamnya masih
mentah. Hal ini bisa diatasi dengan pemotongan bahan yang tipis sehingga
pematangan merata pada saat digoreng. Kemudian singkong diberi tiga perlakuan
yaitu direndam larutan kapur 1%, larutan kapur 2%dan tanpa rendaman larutan
kapur. Perendaman dalam larutan kapur dilakukan selama 15 menit. Selanjutnya
singkong dicuci untuk menghilangkan Ca dan pati yang menempel agar tidak
terjadi gelatinisasi sewaktu digoreng. Setelah ditirisakn baru kemudian
digoreng. Dalam memasukkan potongan singkong hendaknya satu demi satu. Hal ini
untuk menghindari menumpuknya potongan singkong tersebut. Proses penggorengan
dilakukan dalam dua tahap. Pertama digoreng setengah matang dulu, kemudian
digoreng lagi sampai matang.
Lemak yang secara berulang-ulang
digunakan sebagai medium menggoreng cenderung membentuk busa. Beberapa proses
penggorengan keripik singkong yang dilakukan ternyata ada yang membentuk busa.
Hal ini mungkin disebabkan karena pada permukaan lemak terdapat larutan atau
disperse koloid yang berasal dari bahan yang digoreng (Ketaren, 1986). Lemak
yang mengandung sejumlah besar asam lemak berantai pendek,lebih mudah membentuk
busa dan tidak baik digunakan untuk menggoreng bahan pangan yang berkadar air
tinggi.
Proses penggorengan irisan singkong
mengakibatkan sebagian besar air pada bahan menguap, sehingga kadar air keripik
menjadi sekitar 6%. Dalam kondisi kadar air sangat rendah, keripik dapat
disimpan lama pada suhu ruang. Namun, karena kadar lemaknya tinggi (sekitar
24%) akibat penyerapan minyak selama penggorengan, keripik mudah tengik,
khususnya bila tidak diimbangi sistem pengemasan dan penyimpanan yang baik.
Dalam proses menggoreng, udara
merupakan factor utama penyebab kerusakan minyak goreng. Namun dalam proses
penggorengan, kontak antara udara dengan minyak sulit untuk dihindarkan. Pada
waktu proses pemanasan minyak dan penggorengan, aerasi terutama terjadi pada
permukaan minyak dalam wajan, namun akhirnya udara akan masuk ke dalam lemak
akibat peristiwa pergerakan, sirkulasi atau pengadukan lemak.
Setelah bahan matang diangkat lalu
ditirisakn. Setelah itu dilakukan pengamatan terhadap tekstur dan warnanya.
Hasil yang didapat sebagai berikut:
- Singkong tanpa rendaman larutan kapur: warnanya kekuningan, tekstur tidak begitu renyah bila dibandingkan dengan yang direndam larutan kapur.
- Singkong yang direndam larutan kapur 1%: warna kuning kecoklatan, teksturnya renyah.
- Singkong yang direndam larutan kapur 2%: warna kecoklatan, tekstur lebih renyah bila dibandingkan dengan yang direndam larutan kapur 1%.
Dari hasil
pengamatan diketahui bahwa singkong yang sebelum digoreng terlebih dahulu
direndam larutan kapur, ternyata memberikan tekstur yang lebih renyah bila
dibandingkan dengan singkong yang tidak direndam larutan kapur. Selain membuat
tekstur menjadi lebih renyah, air kapur juga dapat menjaga bentuk bahan agar
tidak rusak ketika digoreng.
b. Coating
Pada proses Coating, zat-zat pelapis dibubuhi pada bahan (keripik)
langsung di wajan sehingga perataan bumbu tebal tipisnya kurang baik dan sangat
bergantung baik tidaknya pengadukan. Dan biasanya kerataan bumbu coating kurang
baik dibandingkan enrobing, karena pada enrobing kita bisa mengatur dengan cara
melihatnya nya langsung bumbu sudah cukup apa belum. Dari segi tekstur keripik
singkong yang dicoating kurang renyah karena bumbunya yang terlalu tebal dan
terjadinya lagi pemanasan pada saat pencampuran bumbu.
Tekstur keripik tergantung dari konsentrasi CaO, Semakin banyak maka
tekstur semakain renyah. Warna disebabkan oleh Penggorengan. Bahan selama
digoreng akan mengalami reaksi Mailard. Kerataan bumbu pada coating tidak rata
tetapi menjadi rata dikarenakan adanya pemanasan pada saat dibumbuinya.
c. Enrobing
Enrobing
merupakan pemberian lapisan-lapisan flavor pada makanan. Prosesnya hampir sama
dengan coating namun pada enrobing pemberian bumbu dilakukan dengan cara
menyemprotkannya dengan menggunakan spray. Pada dasarnya coating dan enrobing
adalah kegiatan yang dilakukan setelah bahan diproses terlebih dahulu atau
disebut post processing operation.
Enrobing bertujuan untuk memperbaiki eating quality dan menambah variasi
produk pangan. Disamping itu efek dari enrobing sendiri adalah akan
meningkatkan shelf life pada (suhu ruang) karena bertindak sebagai barrier
terhadap air, O2, CO2, aroma-aroma volatile dan
senyawa-senyawa lain yang kehilangannya menuju deterioration (kemunduran),
memperbaiki karakteristik perlakuan, misal lebih mudah dibengkokan tanpa patah,
memperbaiki appearance melalui glose dan color, sebagai pembawa ingredien yang
ditambahkan sebagai flavoran, antioksidan, antimikrobia, untuk mencegah
stickness (lengket satu sama lain) misalnya pada raisin dan dates, serta
menjadi barrier terhadap air dan bakteri misalnya pada kulit telur dan
processed meat (sosis), poultry dan fish.
Pada praktikum ini digunakan bahan ceriping singkong
dengan pemberian flavor pedas. Ceriping singkong adalah makanan ringan yang renyah, gurih, pedas,
dan lezat. Ceriping merupakan makanan ringan yang umumnya dibuat dari bahan
yang mengandung kadar pati cukup tinggi dan mengalami proses pengeringan
(dengan cara penggorengan) untuk menghilangkan sebagian air yang dikandungnya
(Grace,1977).
Setelah
bahan digoreng, kemudian disemprot dengan flavor yaitu cabe merah yang telah
diambil sarinya. Sebelum cabe diblender, cabe terlebih dahulu di steam
blanching yang bertujuan untuk inaktivasi enzim dan melunakkan (soften)
jaringan pada cabe yang akan digunakan sehingga mudah hancur pada saat
diblender. Kemudian cabe dan air sebanyak 300 ml diblender sampai halus.
Setelah itu larutan cabe disaring. Hasil saringan tersebut dimasak dengan
penambahan gula dan garam secukupnya. Perbandingan cabe dengan gula pasir
adalah 1:2. Pemasakan dilakukan sampai konsentrasi larutan tinggi namun tidak
terlalu kental agar memudahkan penyemprotan dengan sprayer. Setelah bumbu agak
dingin baru dilakukan penyemprotan pada singkong yang telah digoreng. Bumbu
jangan sampai terlalu dingin agar mudah menempel pada permukaan singkong.
Penyemprotan dilakukan sampai rata. Kemudian dilakukan pengovenan selama 3 jam
untuk mengurangi kadar air bumbu pada singkong dan bumbu lebih pekat dan
meresap serta tidak lengket.
Setelah dilakukan pengovenan, didapatkan
tekstur yang renyah, bumbu tersebar rata diseluruh permukaan singkong, flavor
yang enak, dan rasa manis pedas.
Karakteristik sensori meliputi
tekstur, rasa, aroma,warna, dan bentuk. Bagi konsumen, atribut yang paling
penting dari suatu makanan adalah karakteristik sensorinya. Oleh karena itu,
tujuan dari pengolahan makanan adalah untuk menemukan kemajuan dalam teknologi
prosesing yang mempertahankan / menambah kualitas sensori yang diinginkan dan
mengurangi kerusakan pada makanan akibat prosesing. Enrobing sendiri juga
merupakan proses pengolahan yang ditujukan untuk meningkatkan kualitas sensori
(Fellows, 1990).
- Kerataan Bumbu
Metode enrobing lebih memungkinkan untuk tersebarnya
bumbu dengan rata ke seluruh permukaan karena menggunakan spray. Dengan sprayer
bumbu tersebar merata dan tidak berlebihan serta dapat menjangkau seluruh
permukaan. Efisiensi bumbu juga tinggi dibandingkan dengan hasil coating.
Konsentrasi larutan bumbu harus tinggi namun tidak kental karena jika terlalu
kental maka sprayer akan mampat. Sementara pada coating karena singkong harus
dicelupkan pada larutan bumbu, maka akan membutuhkan larutan bumbu yang lebih
banyak. Karena harus dipekatkan terlebih dahulu sehingga larutan bumbu akan
lebih kental dan sedikit. Namun, ketidakrataan bumbu pada praktikum ini
kemungkinan disebabkan oleh perbandingan bumbu dengan singkong yang tidak
seimbang. Karena pada proses pemasakan bumbu harus dibagi dua untuk coating dan
enrobing.
Kelemahan enrobing sendiri dibandingkan dengan
coating adalah lapisan bumbu yang terlalu tipis sedangkan coating tebal
sehingga akan berdampak pada rasa.
- Tekstur
Secara umum dipengaruhi oleh kandungan air /
kelembaban, tipe dan jumlah karbohidrat, protein, dan lemak. Perubahan
dipengaruhi oleh berkurangnya kandungan air atau lemak, pembentukan dan
pemecahan emulsi, hidrolisis karbohidrat dan koagulasi dan hidrolisis protein
(Fellows, 1990).
Tekstur ceriping singkong setelah pengovenan lebih renyah dibandingkan
dengan sebelum pengovenan. Hal ini disebabkan oleh kadar air pada singkong
sudah jauh berkurang karena telah melewati proses pemanasan 2 kali yaitu
penggorengan dan pengovenan. Kadar air pada produk enrobing lebih tinggi
dibandingkan coating oleh karena itu memerlukan proses pengeringan kembali.
Tekstur yang diperoleh pada ceriping singkong kali ini banyak dipengaruhi oleh
proses penggorengan. Proses penggorengan singkong dilakukan dengan metode deep
fat frying atau menggunakan minyak yang banyak sampai bahan tercelup semua. Singkong digoreng dua kali
dengan tujuan mencegah case hardening karena irisan singkong yang tidak
seragam. Ceriping yang terlalu tebal akan mudah mengalami case hardening pada
saat penggorengan yaitu pada bagian luar telah kering tetapi bagian dalamnya
masih mentah. Dengan dua kali penggorengan maka akan menurunkan kadar air
sampai cukup rendah sehingga produk dapat disimpan lebih lama dan mengurangi
penyerapan minyak pada tahap penggorengan kedua. Semakin tinggi kadar air suatu
bahan pada saat digoreng, semakin banyak minyak yang dapat diserap. Kandungan
minyak yang tinggi membuat produk padat energi sehingga mudah rancid dan
merusak penampilan produk.
Perlakuan
sebelumnya terhadap bahan sebelum diproses juga berpengaruh terhadap tekstur
singkong. Pada singkong yang direndam pada larutan kapur selama 15 menit,
tekstur yang diperoleh lebih renyah dan warnanya lebih cerah setelah proses
frying . Perendaman pada konsentrasi air kapur tinggi sebesar 2% lebih renyah
dan warna lebih cerah dibandingkan dengan konsentrasi 1% dan tanpa perendaman
dalam larutan kapur. Perendaman dalam air kapur akan meningkatkan nilai ekonomi
dari ceriping karena memilik warna dan penampakan yang lebih baik.
Pada prinsipnya metode enrobing hampir sama dengan
dengan coating namun tekstur yang diperoleh sedikit berbeda. Pada metode
coating, produk lebih lengket, renyah namun agak keras. Produk lebih lengket
disebabkan lapisan bumbu yang sangat tebal pada coating. Dengan metode enrobing
stickness/lengket satu sama lain dapat dicegah karena pada saat penyemprotan
bumbu tidak terlalu kental dan dilanjutkan dengan pengovenan untuk mengurangi
kadar air pada produk sehingga produk lebih kering dan tidak lengket satu sama
lain.
Pemanasan yang dilakukan pada metode coating hanya
sekali yaitu pada proses penggorengan saja setelah itu singkong dicelupkan pada
bumbu yang cair sehingga kadar airnya masih tinggi dan lapisan bumbu sangat
tebal. Oleh karena itu hasilnya tidak serenyah pada metode enrobing.
·
Warna
Pada makanan terdapat warna natural yang dapat
hilang pada proses pengolahan yang disebabkan oleh perubahan pH, oksidasi, dan
pemanasan. Dengan proses enrobing akan memperbaiki appearance produk dengan
glose dan color sehingga produk lebih menarik (Fellows, 1990). Glose dan color
ini diperoleh dari edible coating yang digunakan. Glose sendiri adalah kenampakan produk yang
mengkilap. Dalam praktikum ini, warna glose diperoleh dari larutan bumbu cabe.
Sebelum pengovenan, diperoleh warna ceriping
singkong merah kecoklatan karena larutan yang disemprotkan pada ceriping masih
pekat, belum melalui pemanasan. Setelah pengovenan, warna berubah menjadi merah
jingga karena selama proses pemanasan terjadi reaksi-reaksi kimia yang
mengakibatkan refleksitas dan warna produk berubah. Hal ini juga disebabkan
penguapan sebagian cairan bumbu yang di dalamnya terdapat pigmen dari cabe merah
sehingga warna terlihat lebih muda.
Jika dibandingkan dengan produk coating, warna
coating lebih gelap karena bumbu pada ceriping lebih pekat dan lapisannya
tebal. Serta tidak mengalami proses pemanasan yang berpengaruh pada warna
produk.
·
Rasa dan flavor
Dipengaruhi oleh formulasi bumbu yang digunakan dan
proses yang dikenakan pada bahan. Bahan pangan memiliki senyawa kompleks yang
mudah menguap yang memberikan karakteristik khas. Ini mungkin hilang selama
proses pengolahan. Volatile compound bahan pangan pada umumnya dapat hilang
karena pemanasan, radiasi ionik, dan oksidasi (Fellows, 1990).
Rasa dan flavor ceriping singkong setelah proses
pengovenan lebih enak namun tidak sepedas jika dibandingkan dengan sebelum
pengovenan. Hal ini dikarenakan bumbu yang digunakan lapisannya tipis sehingga
bumbu belum benar-benar terserap ke lapisan dalam ceriping. Selama pemanasan
dalam oven, bumbu akan lebih pekat karena sebagian besar air akan terevaporasi
dan memungkinkan bumbu terserap.
Jika dibandingkan dengan coating, produk coating
mempunyai rasa yang lebih enak dan lebih manis dan pedas karena bumbu yang
pekat dan lapisan yang tebal sehingga bumbu benar-benar terasa. Rasa manis dan
pedas pada produk coating lebih terasa. Sementara pada produk enrobing kurang.
Ini disebabkan adanya senyawa-senyawa pada bumbu (cabe) yang volatile yang
kemungkinan hilang selama proses pemanasan.
V. PENUTUP
A.
Simpulan
Dari hasil
praktikum, dapat diperoleh kesimpulan :
3.
Coating dan enrobing adalah post processing operation
yang bertujuan memperbaiki eating quality dan menambah variasi dengan cara
menyalut bahan pangan dengan edible coating.
4.
Metode coating menghasilkan ceriping singkong dengan
tekstur renyah dan agak keras, warna merah jingga, rasa enak, flavor manis
pedas, kerataan bumbu kurang merata, dan lebih lengket. Sedangkan metode
enrobing menghasilkan produk dengan kerataan bumbu yang merata, tekstur lebih
renyah, rasa enak, warna lebih muda, namun rasa kurang pedas.
5.
Perendaman singkong dalam larutan kapur selama 15 menit
mempunyai warna dan penampakan lebih baik.
B. Saran
1.
Dalam penambahan larutan coating atau enrobing perlu
memperhatikan jumlahnya, jangan sampai berlebihan.
2.
Suhu saat penggorengan perlu diperhatikan.
DAFTAR PUSTAKA
Afeli, R. 1998. Mikroenkapsulasi & StabilitasMinyak kaya Asam
Omega 3 dari Limbah Minyak Pengalengan Ikan Tuna.Skripsi.Fakultas
Teknologi Pertanian. IPB : Bogor.
Asideu, J. 1989. Prosessing
Tropical Crops; a Technological Approach.
ELBS: .Hong Kong.
Deman, John.M. 1989. Kimia Makanan Edisi Kedua. ITB : Bandung
.
Fellows,P.J.
1990. Food Procesing Technologi,Principles and Practice. Ellis Howwood :
England.
Grace, M,. R. 1977. Cassava
Prosessing. FAO of United Nations : Roma.
Ketaren, S. 1986. Minyak dan Lemak Pangan. UI-Press : Jakarta.
Ratnawulan,N.R. 1996. Pengaruh jenis dan konsentrasi larutan kalsium
serta metode Pengeringan Terhadap Mutu Keripik Kentang. Skripsi. Fakultas
Teknologi Pertanian. IPB : Bogor.
Warsito, Chandra. 2003. Pembuatan keripik Bengkoang dengan
penggorengan Hampa : Pengaruh Perendaman Larutan CaO dan PenyalutanMalto
dekstrinTerhadap Kualitas produk. Skripsi. Fakultas Pertanian.
UNSOED: . Purwokerto.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar