Minggu, 13 Desember 2015

PEMANFAATAN LIMBAH JAMBU METE



                                                       


RINGKASAN         

Tanaman jambu mete ( Anacardium occidentale. L) merupakan tanaman perkebunan yang sedang berkembang di Indonesia dan cukup menarik perhatian, hal ini karena pertama , tanaman jambu mete dapat ditanam di lahan kritis sehingga persaingan lahan dengan komoditas lain menjadi kecil dan dapat juga berfungsi tanaman konservasi, kedua tanaman jambu mete merupakan komoditas ekspor, sehingga pasar cukup luas dan tidak terbatas pada pasar domestik, ketiga usaha tani, perdagangn dan agroindustri mete melibatkan banyak tenaga kerja.

Karena dianggap sebagai limbah, buah semu biasanya dibuang begitu saja. Padahal buah semu sebenarnya bisa menghasilkan peluang usaha jika diolah lebih lanjut
Kadar vitamin C nya cukup tinggi, yaitu ( 147 – 372 mgr/ 100 gr ) kira –kira 5 kali vitamin C buah jeruk. Selain itu juga mengandung cukup vitamin B1, B2 dan niasin. Kandungan mineralnya terutama unsur P terdapat dalam jumlah yang cukup., juga buahnya mengadung karbohidrat yang sebagian besar terdiri dari gula reduksi ( 6,7 – 10,6 % ) dan pektin serta bersifat Juicy karena banyak mengandung air.
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan BPPT Bali, pemberian pakan limbah mete terfermentasi bisa meningkatkan bobot ternak secara signifikan. Dari nilai ekonomisnya, pemberian pakan tersebut bisa memberikan keuntungan sebesar Rp. 32 ribu per 12 minggu atau sebesar Rp. 11 ribu per bulannya untuk setiap ekor kambing jika dibandingkan dengan pemeliharaan secara tradisional.
Hasil kajian penggunaan pupuk organik dari limbah kulit mete 2 ton/ha tanpa menggunakan pupuk nitrogen (N) dan hanya menambahkan sebahagian pupuk P dan K pada tanaman jagung varietas Bima-3 dan Sukmaraga dapat menghasilkan rata-rata produktivitas 5,6 ton/ha













I.                   PENDAHULUAN

Latar Belakang
Tanaman jambu mete ( Anacardium occidentale. L) merupakan tanaman perkebunan yang sedang berkembang di Indonesia dan cukup menarik perhatian, hal ini karena pertama , tanaman jambu mete dapat ditanam di lahan kritis sehingga persaingan lahan dengan komoditas lain menjadi kecil dan dapat juga berfungsi tanaman konservasi, kedua tanaman jambu mete merupakan komoditas ekspor, sehingga pasar cukup luas dan tidak terbatas pada pasar domestik, ketiga usaha tani, perdagangn dan agroindustri mete melibatkan banyak tenaga kerja.
Di Indonesia varietas jambu mete umumnya dikenal berdasarkan warna buah semunya. Warna buah semu jambu mete terdiri dari buah semu warna merah, kuning dan jingga, warna jingga diduga berasal dari penyerbukan alamiah antara tanaman dengan buah semu warna merah dan kuning.
Sebagai hasil/ produksi utama tanaman mete adalah gelondong mente, hasil samping buah semu mente yang dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku industri rumah tangga yang sampai saat ini belum banyak dimanfaatkan secara optimal.
Di Indonesia pemanfaatan buah semu jambu mete masih sangat terbatas baik dalam jumlah maupun bentuk produksinya. Pada beberapa daerah tertentu umumnya dikonsumsi dalam bentuk buah segar dan produk olahan tradisional. Diperkirakan, dari produksi buah jambu mete hanya sekitar 20 % yang sudah dimanfaatkan secara tradisional , misal dibuat rujak, dibuat abon dan sebagainya sedangkan sisanya 80 % masih terbuang sebagai limbah.

Rumusan Masalah
Pengolahan biji jambu mete akan menghasilkan limbah berupa buah semu dan kulit atau cangkang biji. Karena dianggap sebagai limbah, bagaimanakah buah semu bisa menghasilkan peluang usaha jika diolah lebih lanjut.




II.                STUDI PUSTAKA

Jambu monyet atau jambu  mede atau jambu mete(Anacardium occidentale) adalah sejenis tanaman dari sukuAnacardiaceae yang berasal dari Brasil dan memiliki "buah" yang dapat dimakan. Yang lebih terkenal dari jambu mede adalah kacang mede, kacang mete atau kacang mente; bijinya yang biasa dikeringkan dan digoreng untuk dijadikan pelbagai macam penganan. Secara botani, tumbuhan ini sama sekali bukan anggota jambu-jambuan (Myrtaceae) maupun kacang-kacangan (Fabaceae), melainkan malah lebih dekat kekerabatannya dengan mangga (suku Anacardiaceae).
Dikenal juga dengan pelbagai nama seperti jambu mèdè (Sd.); jambu mété atau jambu ménté (Jw.); jhambu monyèt (Md.); jambu dwipa, jambu jipang, nyambu monyèt (Bl.); nyambuk nyĕbèt (Sas.); jambu érang, jambu monyé (Mink.); jambu dipa (Banj.); buwah monyet (Timor); buwah yaki (Manado); buwa yakis, wo yakis (Sulut); buwa yaki (Ternate, Tidore); buwa jakis (Galela); jambu daré, jambu masong (Mak.); jampu sèrĕng, jampu tapĕsi (Bug.); dan lain-lain.
Dalam bahasa Inggris dinamakan cashew (tree), yang diturunkan dari perkataan Portugis untuk menamai buahnya, caju, yang sebetulnya juga merupakan pinjaman dari nama dalam bahasa Tupi, acajú. Sementara nama marganya (Anacardium) merujuk pada bentuk buah semunya yang seperti jantung terbalik (Sumber wikipedia Indonesia)
Pengembangan tanaman jambu mete di Indonesia di mulai sekitar tahun 1975 melalui proyek kehutanan yang saat itu ditujukan terutama untuk melindungi lahan kritis, dikembangan tanaman seluas 58.000 ha, tahun 1984 menjadi 196.000 ha. Tahun 2005 aereal tanaman mente di Indonesia ± 547.000 ha, yang tersebar di 21 provinsi, Sulawesi Tenggara 138.830 ha, Nusa Tenggara Timur 126.828 ha, Sulawesi Selatan 70.467 ha, Jawa Timur 57.794 ha, Nusa Tenaggara Barat 46.196 ha, dan Jawa Tengah 30.815 ha.
Di Jawa Tengah luas areal tanaman jambu mete kurang lebih 30.821 ha yang tersebar dibeberapa kabupaten antara lain Wonogiri 17.500 ha, Sragen 1.852 ha, Karanganyar 1.720 ha, Blora 1.869 ha , Purworejo 1.364, Sukoharjo 1.214 ha, Jepara 1.542 dan lainnya tersebar kabupatn Semarang, Batang , Grobogan, Rembang, Boyolali, Pemalang, Kebumen.
Sebagai hasil/ produksi utama tanaman mete adalah gelondong mente, hasil samping buah semu mente yang dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku industri rumah tangga yang sampai saat ini belum banyak dimanfaatkan secara optimal.
Di Indonesia pemanfaatan buah semu jambu mete masih sangat terbatas baik dalam jumlah maupun bentuk produksinya. Pada beberapa daerah tertentu umumnya dikonsumsi dalam bentuk buah segar dan produk olahan tradisional. Diperkirakan, dari produksi buah jambu mete hanya sekitar 20 % yang sudah dimanfaatkan secara tradisional , misal dibuat rujak, dibuat abon dan sebagainya sedangkan sisanya 80 % masih terbuang sebagai limbah.
Ditinjau dari segi nilai gizi dan komposisi kimianya, buah semu jambu mete merupakan salah satu sumber vitamin dan mineral. Kadar vitamin C nya cukup tinggi, yaitu ( 147 – 372 mgr/ 100 gr ) kira –kira 5 kali vitamin C buah jeruk. Selain itu juga mengandung cukup vitamin B1, B2 dan niasin. Kandungan mineralnya terutama unsur P terdapat dalam jumlah yang cukup., juga buahnya mengadung karbohidrat yang sebagian besar terdiri dari gula reduksi ( 6,7 – 10,6 % ) dan pektin serta bersifat Juicy karena banyak mengandung air. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa buah semu jambu mete mempunyai potensi ekonomi yang cukup tinggi, sehingga dapat diolah menjadi berbagai produk makanan dan minuman seperti sari buah, selai, jelly, sirop,cuka , manisan dan dapat dibuat sebgai lauk pauk abon.
Teknologi pengolahan untuk membuat produk olahan dari buah semu jambu mete sebenarnya telah tersedia, namun teknologi ini belum dimanfaatkan. Pengolahan buah jambu mete akan memberikan nilai tambah dalam rangka meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan petani beserta keluarganya.
Hampir semua bagian dari tanaman jambu mete dapat digunakan untuk berbagai keperluan. Hasil utama tanaman jambu mete adalah buahnya. Buah mete terdiri dari buah sejati (biji/gelondong mete) dan buah semu. Produk utama yang diambil dari tanaman jambu mete adalah bijinya (kacang mete), sedangkan buah semu jambu mete sering dianggap sebagai produk ikutan. Bahkan bagi sebagian besar petani buah semu seringkali dibuang begitu saja dan dianggap sebagai limbah jambu mete. Walaupun demikian, buah semu jambu mete juga dapat dimanfaatkan untuk berbagai macam bahan makanan, misalnya untuk membuat jam, jelly, sirup, sari buah, serta minuman.



























III.             ANALISIS DAMPAK LINGKUNGAN

Limbah pasti akan berdampak negatif pada lingkungan hidup, jika tidak ada pengolahan yang baik dan benar. Dengan adanya limbah padat didalam linkungan hidup,  maka dapat menimbulkan pencemaran, yaitu :
1.      Timbulnya gas beracun, seperti asam sulfida (H2S), amoniak (NH3), methan (CH4), C02, dan sebagainya. Gas ini akan timbul jika limbah padat ditimbun dan membusuk, karena terdapat mikroorganisme. Adanya musim hujan dan kemarau, terjadi proses pemecahan bahan organik oleh bakteri penghancur dalam suasana aerob atau anaerob.
2.      Dapat menimbulkan penurunan kualitas udara, dalam sampah yang ditumpuk, akan terjadi reaksi kimia seperti gas H2S, NH3, dan methane yang jika melebihi NAB (Nilai Ambang Batas) akan merugikan manusia. Gas H2S 50ppm dapat mengakibatkan mabuk dan pusing.
3.      Penurunan kualitas air, karena limbah padat biasanya langsung dibuang dalam perairan atau bersama-sama air limbah. Maka akan dapat menyebabkan air menjadi keruh dan rasa dari air pun berubah.
Kerusakan permukaan tanah. Dari sebagian dampak-dampak limbah padat diatas, ada beberapa dampak limbah yang lainnya yang ditinjau dari aspek yang berbeda secara umum. Dampak limbah secara umum di tinjau dari dampak lingkungan, sosial, dan ekonomi adalah sebagai berikut
Dampak Lingkungan
Dampak pada lingkungan yang dapat terjadi apabila limbah dari buah semu (atau  daging buah jambu mete) ini tidak dimanfaatkan akan menjadi sampah yang agak slit terurai dan menjadi sampah begiu saja, sehingga apabila limbah jambu  mete ini hanya di buang saja akan menjadi sarang penyakit. Selain limbah dari tanaman mengeluarkan bau yang tidak sedap apabila didiamkan selama berhari-hari, dan juga dapat mengurangi keindahan di lingkungan sekitar.
Dampak Sosial
Dampak sosial yang akan ditimbulkan dari limbah ini yaitu akan mengganggu orang lain secara langsung maupun tidak langsung. Dampak langsungnya yaitu seseorang akan mencium bau yang tidak sedap apabila melewati daerah yang menjadi pembuangan dari limbah ini, selain itu dampak tidak langsung yang akan ditimbulkan dari limbah ini yaitu menjadi sarang penyakit. Bila limbah jagng ini dimanfaatkan akan mengurangi dampak sosial yang ditimbulkan, salah satunya yaitu masyarakat sekitar tidak akan terganggu dengan adanya bau yang ditimbulkan dari limbah tersebut dan juga dapat memperindah lingkungan sekitar.
Dampak Ekonomi
Dampak ekonomi dari limbah ini jika di olah kembali tentu saja akan menguntungkan. Harga ekonomisnya akan meningkat seiring penemuan baru yang telah di buat. Sebagai pakan ternak sampai bahan bakar dapat di jual kembali dengan harga yang relatif terjangkau dan menambah nilai ekonomis dari jambu mete itu untuk para petaninya.












IV.             PEMBAHASAN

Limbah Jambu Mete Menjadi pakan Ternak
Buah semu bisa diolah menjadi pakan ternak yang baik jika dilakukan proses fermentasi terlebih dulu. Proses ini sangat diperlukan untuk meningkatkan nilai gizi buah semu yang sebelumnya rendah. Dengan proses fermentasi, kadar protein dan kalori bisa ditingkatkan sedangkan kadar serat kasarnya bisa diturunkan. Jika diolah lebih lanjut, yakni dengan mengeringkannya, buah semu bisa menjadi tepung dan bertahan hingga enam bulan. Pakan berbentuk tepung dari buah semu jelas lebih praktis serta mudah dalam penyimpanan, pengangkutan, dan pencampurannya ketika diberikan kepada ternak. Dengan penepungan, stok pakan akan selalu tersedia di luar musim panen sekalipun.
Prosedur fermentasi membutuhkan mikroba tertentu agar prosesnya bisa berjalan efektif. Mikroba yang mampu menghasilkan fermentasi terbaik dalam pengolahan limbah mete adalah jenis Aspergillus Niger. Aspergillus Niger merupakan sejenis jamur yang bisa hidup dalam kondisi ada oksigen (aerob) maupun tanpa oksigen (anaerob). Dengan demikian penggunaan jamur ini dalam proses fermentasi akan membuat lebih praktis karena proses fermentasi tidak harus berada dalam tempat yang tertutup rapat. Dengan memperbanyak jumlah Aspergillus Niger, maka proses fermentasi akan berjalan lebih efektif lagi.
Proses aktivasi dan pembiakan Aspergillus Niger membutuhkan sejumlah bahan. Di antaranya adalah gula pasir, urea, dan NPK, masing-masing sebesar 1% dari berat air. Jika diganti dengan campuran gula pasir dan ekstrak tauge (kecambah kacang hijau), maka komposisi masing-masing sebesar 2,5% dari berat air. Dengan proses pembiakan ini, dari 1 liter Aspergillus Niger bisa dikembangkan menjadi 200 liter.
Air yang dipergunakan pun juga harus diperhatikan. Harus terjaga kebersihannya dan tidak mengandung kaporit sebagaimana air PAM. Jika terpaksa menggunakan sungai ataupun air yang kotor, maka harus dimasak terlebih dahulu hingga benar-benar mendidih. Hal ini dimaksudkan untuk membunuh mikroba yang terdapat di dalamnya. Setelah air masak dan didinginkan, baru kemudian gula pasir, urea,dan NPK atau kombinasi dari gula pasir dan ekstrak tauge dimasukkan ke dalamnya dan diaduk hingga larut. Kemudian bibit Aspergillus Niger masukkan sebesar 0,5% dari volume air.
Proses berikutnya adalah aerasi selama 30-48 jam. Anda tidak perlu bingung jika tidak memiliki aerator. Alternatifnya yaitu dengan membiarkan larutan tadi selama 72 jam baru kemudian bisa digunakan. Ketika tiba pada proses aktivasi, seluruh bahan harus ditaruh di tempat yang teduh dan tertutup agar tidak terkontaminasi oleh mikroba.
Sebelum proses fermentasi dilakukan, limbah mete yang masih mengandung air sebesar 60% perlu dikurangi kadar airnya. Bisa dicacah terlebih dulu baru kemudian diperas secara manual. Bisa juga langsung diperas secara manual maupun menggunakan alat. Setelah itu limbah diratakan dalam suatu wadah dengan ketebalan sekitar 5-10 cm lalu larutan Aspergillus Niger disiramkan di atasnya hingga merata. Kemudian di atasnya diratakan lagi dengan limbah mete dan dibasahi kembali dengan larutan Aspergillus Niger hingga semua permukaan benar-benar basah. Baru limbah bisa ditutup dengan goni, kain, ataupun plastik agar limbah terjaga kelembabannya dan terhindar dari mikroba.
Proses fermentasi idealnya berlangsung selam 4-6 hari agar terjadi dekomposisi secara sempurna. Kurang dari itu, biasanya dekomposisi tidak terjadi secara sempurna.
Pada hari kelima, wadah fermentasi bisa dibuka dan proses pengeringan dilakukan dengan menjemurnya selama 2-3 hari di bawah terik matahari. Setelah limbah benar-benar kering lalu digiling dengan menggunakan penggiling gaplek atau bisa juga dengan penggiling kopi. Tepung yang didapatkan dari proses penggilingan tersebut bisa langsung diberikan sebagai pakan ternak, khususnya untuk kambing, sapi, dan kerbau. Namun jika ingin menyimpannya, bisa menggunakan karung goni ataupun kantong plastik yang kering dan menutupnya dengan rapat. Limbah yang sudah berubah menjadi pakan ini bisa bertahan hingga enam bulan.
Pakan yang terbuat dari limbah mete memiliki keunggulan. Dari segi gizinya, pakan tersebut memiliki kandungan protein yang tinggi serta serat kasar yang lebih rendah. Pakan dari limbah ini sifatnya adalah makanan pendamping. Artinya makanan pokok dari ternak seperti daun-daun hijau tetap harus diberikan. Kadar pakan yang diberikan disesuaikan dengan berat badan ternak, yakni berkisar 0,7-1,2% berat badan ternak. Jika pakan diberikan pada unggas, maka bisa dicampurkan langsung pada makanan unggas tersebut.
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan BPPT Bali, pemberian pakan limbah mete terfermentasi bisa meningkatkan bobot ternak secara signifikan. Dari nilai ekonomisnya, pemberian pakan tersebut bisa memberikan keuntungan sebesar Rp. 32 ribu per 12 minggu atau sebesar Rp. 11 ribu per bulannya untuk setiap ekor kambing jika dibandingkan dengan pemeliharaan secara tradisional.

Limbah Jambu Mete Menjadi Bahan Bakar Alternatif
Jambu mete menjadi biobriket sebagai bahan bakar alternatif. Biobriket dari kulit jambu mete ini dinamai Anacardium briket atau disebut juga Anabri. Proses penelitian Anabri melalui beberapa tahapan. Tahap pendahuluan dengan mencari lem kanji dan serbuk arang kulit jambu mete, lalu dilakukan pengujian sampel. Secara teknis, pembuatan Anabri dilakukan dengan penjemuran limbah kulit jambu mete, dan meletakkannya di atas lempengan logam atau seng. Kemudian, kulit jambu mete dibakar sampai terbentuk arang. Lalu, arang-arang tersebut ditumbuk halus dan disaring.
Setelah itu, arang kulit jambu mete direkatkan dengan lem kanji dan dicetak dengan alat pencetak. Terakhir, dikeringkan dengan oven untuk menghilangkan kadar air dalam biobriket hingga mencapai berat konstan. Mengenai uji sampel, dilakukan setelah pencetakan, yang meliputi uji kalor, kadar karbon, kadar air, dan periode nyala.
Dari uji tersebut diketahui bahwa biobriket paling optimal adalah dengan perbandingan lem kanji dan serbuk arang kulit biji jambu mete satu banding tiga dengan kadar kalori 5.856, 13 per gram, kadar karbon 21,45 persen, periode nyala 77,14 menit,
dan kadar air 6,27 persen.
Dari segi analisis ekonomi, Anabri telah memiliki kelayakan usaha, hanya butuh penyempurnaan desain dan warna kemasan. Anabri diharapkan dapat menjadi sumber energi ramah lingkungan, yang dapat menggali potensi lokal daerah, serta menjadi peluang usaha baru bagi masyarakat petani jambu mete.


Limbah kulit Jambu Mete Menjadi Pupuk
 Pupuk organik dapat berasal dari berbagai limbah pertanian dan ternak, dan salah satunya sumber bahan baku lokal yang melimpah ketersediaanya adalah limbah kulit mete. Bahan baku limbah kulit mete di Sulawesi Tenggara tersedia setiap tahunnya. Limbah kulit mete yang dihasilkan tergantung dari produktivitas jambu mete setiap tahun. seperti pada tahun 2009 terdapat 26.227 ton limbah dari hasil pengacipan.
Teknologi Pembuatan Pupuk Organik, yaitu :
1.      Limbah kulit mete dicincang dengan ukuran kurang lebih 2 cm kemudian ditumbuk dan dilakukan penjemuran.
2.      Setelah limbah kulit mete dianggap telah berpisah dengan CNSL-nya maka dibuatkan bak pembuatan dengan ukuran kapasitas muatan 1 ton,
3.      Buat pupuk organik dengan formulasi 1 ton limbah kulit
4.      mete + 1 karung ukuran 50 kg kotoran sapi yang sudah kering + 1 karung ukuran 50 kg dedak + 1 karung ukuran 50 kg sekam kemudian diaduk dan diselingi dengan pemberian EM4 atau Orgadec yang sudah dicampuran dengan larutan gula merah
5.      kemudian ditutup rapat dan setiap 3 hari
6.      Lakukan pengecekan diselingi dengan penggarukan bahan.
7.      Waktu yang diperlukan untuk menjadi pupuk organik yang siap diaplikasikan dilapangan sekitar 2 – 3 minggu.
Kandungan hara yang terkandung dalam pupuk organik dari limbah kulit mete masing-masing N-total 1,08 %, P2O5-total 0,90 me/100 g, K2O-total 1,30 me/100 g, CaO-total 1,79 me/100 g dan kadar air 7,76 %.  Hasil kajian penggunaan pupuk organik dari limbah kulit mete 2 ton/ha tanpa menggunakan pupuk nitrogen (N) dan hanya menambahkan sebahagian pupuk P dan K pada tanaman jagung varietas Bima-3 dan Sukmaraga dapat menghasilkan rata-rata produktivitas 5,6 ton/ha.




V.                 PENUTUP

Kesimpulan
Di Indonesia pemanfaatan buah semu jambu mete masih sangat terbatas baik dalam jumlah maupun bentuk produksinya. Pada beberapa daerah tertentu umumnya dikonsumsi dalam bentuk buah segar dan produk olahan tradisional. Diperkirakan, dari produksi buah jambu mete hanya sekitar 20 % yang sudah dimanfaatkan secara tradisional , misal dibuat rujak, dibuat abon dan sebagainya sedangkan sisanya 80 % masih terbuang sebagai limbah.
Penghembangan limbah jambu mete, Limbah jambu mete menjadi pakan ternak limbah kulit jambu mete menjadi pupuk limbah jambu mete menjadi bahan bakar alternatif

Saran
            Pengembangan limbah jambu mete harus di manfaatkan lagi dan di cari penemuan-penemuan yang baru yang akan menambah nilai ekonomis maupun kesehatan bagi lingkungan yang ada
















Daftar Pustaka
Liptan (1988). Jambu Mete Sebagai tanaman penghijauan. Balai Informasi Pertanian Banjarbaru.
Liptan. (1990). Budidaya Jambu Mete. Lembar Informasi Pertanian. Proyek Informasi Pertanian Kalimantan Tengah. 2 hal.
Saragih, Yan Pieter; Haryadi, Yadi. (1994). METE. Budidaya Jambu Mete. Pengupasan Gelondong. Bogor, Penebar Swadaya. 86 halaman

2 komentar: